Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merilis data pengaduan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang diterima per Maret 2017 ini. Komnas HAM menerima enam pengaduan yang terkait dengan KBB. Sementara sembilan kasus lama terancam mandek.
Pelapor khusus KBB Komnas HAM Imdadun Rahmat memaparkan, pengaduan pertama yang diterima berkaitan dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kota Banjar.
Masyarakat JAI mengajukan agar SK Walikota Banjar tentang pembekuan aktivitas Jemaat Ahmadiyah dicabut. Bahkan permintaan itu sudah yang ketiga kali diajukan masyarakat JAI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Imdadun mengatakan, laporan berikutnya diajukan oleh masyarakat JAI Al Hidayah di Kota Depok lantaran masjid mereka disegel secara sewenang-wenang oleh pemerintah kota.
Laporan ketiga adalah soal aktivitas ibadah di Gereja Isa Almasih TPI Ngentak, Sleman. Pengaduan diajukan lantaran pengurus gereja kesulitan untuk mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) rumah ibadah mereka.
Laporan selanjutnya masih terkait dengan gereja, yaitu jemaat Gereja Kristen Protestan di Maluku Tenggara Raya. Jemaat di sana merasa diintimidasi dan mendapatkan perlakukan kekerasan karena membangun tempat dan pelaksanaan ibadah di sana.
Intimidasi dilakukan kepala desa setempat. Sementara aparat Polres Maluku Tenggara diduga mengabaikan perlindungan warga dalam pelaksaaan ibadah para jemaat.
Kelima, terkait persekutuan Doa Nazarenus Tanah Runtuh di Kabupaten Kupang yang dituduh sebagai aliran sesat. Rumah ibadah mereka juga dibongkar.
Sementara laporan terakhir yang diterima adalah soal aduan karyawan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri di Kediri yang dipaksa salat bersama di musala kantor. Karyawan mengatakan jika paksaan itu tak digubris maka mereka diancam akan diberhentikan dari pekerjaannya.
 Pengusiran jemaat Ahmadiyah di Bukit Duri, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Eky Wahyudi) |
Imdadun menyampaikan, selain enam kasus baru tersebut, sebenarnya Komnas HAM masih mendorong penyelesaian terhadap sembilan kasus lain. Namun dia dan Komnas HAM merasa kasus-kasus tersebut dikhawatirkan tak memperoleh penyelesaian hukum yang adil.
Tiga kasus pertama berkaitan dengan masjid dan musala, dan semua nasibnya sama yaitu penutupan atau penolakan pembangunan tempat ibadah bagi umat Islam tersebut.
Kasus di Bitung, Sulawesi Utara, terjadi pada Juni 2015 di mana sebuah masjid ditolak pembangunannya oleh sebagian umat Kristiani dengan berbagai alasan.
Ratusan massa disebut sempat menyerang pembangunan masjid karena dianggap belum ada IMB. Hingga kini pembangunan masjid belum terlaksana karena berbagai persyaratan terhenti di kelurahan.
Kasus selanjutnya masih terjadi di kawasan Manado, tepatnya di Kampung Teksas, dan kejadian berlangsung pada 20 Oktober 2016. Penolakan pembangunan masjid di sana dilakukan anggota organisasi masyarakat Makapetor dan elemen adat lokal.
Imdadun mengatakan, data yang didapat Komnas HAM memperlihatkan bahwa penolakan dilakukan karena masyarakat menganggap perluasan masjid telah menyalahi aturan dari pemerintah setempat. Hingga kini belum ada titik temu soal itu.
Sedangkan satu kasus lain terjadi di Denpasar pada Mei 2008 saat warga Hindu menutup dan melarang ibadah dilakukan di mushala As-Syafiiyah. Musapa itu masih ditutup dan belum ada titik temu hingga saat ini meski mediasi telah dilakukan.
Kasus Aceh Singkil pun masuk dalam daftar kasus yang kemungkinan tak mendapat penyelesaian. Imdadun menjelaskan, kasus penghentian aktivitas 24 gereja di Aceh Singkil telah terjadi sejak 2012 lalu karena desakan dari masyarakat. Berbagai rekomendasi telah diberikan Komnas HAM tapi hingga kini rekomendasi tersebut tak kunjung direalisasikan.
Kasus GKI Yasmin di Bogor, HKBP Filadelfia di Bekasi, pengungsi umat Syiah di Sampang, kasus Gafatar, dan kasus JAI di berbagai wilayah di Indonesia adalah lima kasus lain yang dianggap Imdadun terancam mandeg dan masuk dalam pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Komnas HAM dan pemerintah.
Tidak Sinkron dengan Pemerintah PusatImdadun mengungkapkan kejadian-kejadian yang dilaporkan ke Komnas HAM mayoritas terjadi di daerah dan seakan tak ada tindak lanjut dari Pemerintah Daerah setempat. Hal itu, kata Imdadun, bisa terjadi karena banyak aturan di daerah yang tidak bisa menerapkan peraturan daerah dengan baik.
Tak jarang, kata dia, aturan tersebut hanya menguntungkan kelompok mayoritas dan membuat kebebasan beragama dan berkeyakinan di sana sulit direalisasikan.
"Ada Perda yang mengandung unsur pemaksaan, ada kelompok mayoritas yang diemaskan atau aturan yang tak memberikan akses yang sama untuk kaum minoritas," kata Imdadun di Komnas HAM, Selasa (25/4).
Berdasarkan data Komnas HAM yang didapat dari Kementerian Dalam Negeri, setidaknya ada 3000 peraturan daerah yang isinya tak sesuai dengan UU yang dikeluarkan pemerintah pusat dan setelah diteliti lebih jauh memang mayoritas berkaitan dengan norma HAM.
Imdadun menegaskan itu semua bukan isapan jempol belaka karena itu sudah dikonfirmasi secara langsung bahwa memang tak ada sinkronisasi yang baik soal aturan tersebut.
Imbasnya adalah kaum minoritas menjadi korban, bahkan masyarakat yang menganut kepercayaan tertentu menjadi yang paling menderita.
"Yang paling menderita adalah masyarakat yang menganut kepercayaan," katanya.
(pmg/wis)