KPK Belum Sebut Peran Megawati Terkait Skandal BLBI

CNN Indonesia
Selasa, 25 Apr 2017 19:10 WIB
SKL terbit karena aturan Megawati yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Aturan itu menjamin kepastian hukum debitur kasus BLBI.
SKL terbit karena aturan Megawati yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Aturan itu menjamin kepastian hukum debitur kasus BLBI. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan tak menjawab lugas ketika ditanya peran Presiden ke-5 Indonesia Megawati Soekarnoputri dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

SKL itu keluar karena aturan Megawati yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemenang Saham.

Basaria hanya menjawab bahwa penerbitan SKL kepada obligor BLBI itu memang kebijakan pemerintah saat itu. Menurutnya, tak semua kebijakan merupakan tindak pidana korupsi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, kata Basaria, kebijakan pemerintah bisa dikatakan terindikasi korupsi bila menguntungkan diri sendiri ataupun pihak-pihak lain.

'Kebijakan itu menjadi tindak pidana korupsi apabila di dalam proses berjalannya kebijakan itu ada sesuatu manfaat, yang diperoleh untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain," kata Basaria di Gedung KPK, Selasa (25/4).

Basaria menyatakan, bahwa tak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru dalam kasus yang sudah menjerat mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.

Menurut dia, penyidik KPK masih perlu mengumpulkan bukti-bukti lainnya.

"Ini masih awal, penetapan tersangka tak hanya pada satu orang semata. Masih ada pengembangan," tutur Basaria.

Mengusut Kebijakan

Menurut Basaria, pihaknya kini ingin fokus mengusut kebijakan pemberian SKL yang dikeluarkan Syafruddin kepada pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim. Pasalnya, dari temuan awal negara diduga dirugikan sebesar Rp3,7 triliun.

"Tapi hari ini kita fokus ke SAT. Yang harusnya (Sjamsul Nursalim bayar) Rp4,8 triliun. Harusnya Rp4,8 triliun dibayar dulu baru. Pemberian SKL itu seharusnya tak diterima karena belum lunas," kata Basaria.

Seperti diketahui, KPK menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham BDNI. Tindakan Syafruddin itu diduga merugikan keuangan negara hingga Rp3,7 triliun.
Syafruddin disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sjamsul Nursalim sendiri kini masih berada di Singapura sejak 2015. KPK pun meminta yang bersangkutan untuk kembali ke Indonesia agar bisa memberikan keterangan atas penerbitan SKL yang pihaknya terima dari BPPN pada April 2004 lalu.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER