Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) Bachtiar Nasir mengatakan, vonis yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak sesuai harapan GNPF MUI.
"Meskipun vonis dua tahun (penjara) enggak memuaskan sejumlah pihak, tapi bersyukurlah pada Allah," kata Bachtiar di Kantor AQL Islamic Centre, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (10/5).
Anggota tim advokasi GNPF MUI Kapitra Ampera pun menyatakan hal serupa. Dia menerima putusan majelis hakim yang telah melaksanakan tugasnya secara independen.
"Meskipun putusan itu tidak memenuhi ekspektasi kami, tapi kami dapat menerimanya dan menghormati sebagai suatu putusan yang final," kata Kapitra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun ekspektasi soal vonis kepada Ahok, GNPF MUI merujuk Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, bahwa terpidana dapat dihukum maksimal lima tahun penjara.
Meski demikian, kata Kapitra, keputusan akhir tetap berada di tangan majelis hakim. Dia tidak ingin memperdebatkan putusan hakim secara serius dan berkepanjangan.
"Jumlah berapa tahun yang dibacakan tidak lah jadi domain kami, domain masyarakat dan domain kekuasaan," kata Kapitra.
Dia menjelaskan alasan GNPF MUI menerima putusan hakim. Pertama, pihaknya menilai majelis hakim sudah melaksanakan tugasnya dengan memberi putusan tidak berdasarkan tuntutan jaksa penuntut umum, melainkan berangkat dari dakwaan.
 Massa penentang Ahok berkumpul di Masjid Istiqlal, Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Tindakan majelis hakim, menurutnya, sesuai dengan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung nomor 47K/Kr/1956 tanggal 23 Maret 1957 dan yurisprudensi nomor 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976.
"Pertama hakim telah putus perkara Ahok yang berdasarkan dakwaan JPU bukan atas tuntutan JPU," kata Kapitra.
Alasan kedua, GNPF MUI menilai majelis hakim telah memberi putusan berdasarkan fakta-fakta yang dihadirkan di persidangan dan kesaksian yang menyatakan ada penodaan agama.
"Hakim melihat realitas ini dan memutuskannya berdasarkan fakta riil dan akurat berdasarkan argumentasi hukum sehingga fakta persidangan jadi valid dan akurat," lanjut Kapitra.
Ketiga, kata Kapitra, hakim telah mengambil keputusan dengan memperhatikan rasa keadilan di masyarakat. Keputusan hakim tersebut dinilai Kapitra sesuai dengan pasal 5 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Alasan terakhir, Kapitra menyatakan majelis hakim telah memutus perkara secara imparsial, independen, tanpa intervensi oleh siapa pun dalam bentuk apa pun, termasuk diri majelis hakim sendiri.
"Substansi itulah yang jadi acuan sehingga (kami) dapat menerima keputusan hakim," kata Kapitra.