Mengingat Kerusuhan Mei 1998, Mencegah Berulang

CNN Indonesia
Sabtu, 13 Mei 2017 13:20 WIB
Kerusuhan Mei 1998 titik kelam sejarah yang mestinya tidak berulang di masa mendatang.
Kerusuhan Mei 1998 titik kelam sejarah yang mestinya tidak berulang di masa mendatang. (Dok/Foto: REUTERS/Enny Nuraheni)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kerusuhan pada Mei 1998 merupakan hasil kulminasi dari malapetaka ekonomi yang memukul Asia dan krisis politik. Emosi negatif masyarakat yang terkena dampak krisis ekonomi mencapai titik didihnya.

Kerusuhan berupa penjarahan di kawasan pertokoan meletup di berbagai wilayah. Bersamaan dengan itu, ribuan mahasiswa yang jengkel dengan rezim Orde Baru beserta kroninya, juga turun ke jalan untuk berdemonstrasi.

Paparan itu disampaikan sejarawan sosial ekonomi Asia Tenggara dari Universitas Amsterdam, Gerry van Klinken dalam tulisannya yang ia beri judul 'Kerusuhan Mei.' 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, sejak 1997, krisis ekonomi di Asia memukul Indonesia jauh lebih keras dibandingkan negara-negara lain, misalnya Thailand, Filipina, dan Korea Selatan. Nilai tukar rupiah merosot tajam dengan cepat.

Depresiasi nilai tukar tersebut membuat ratusan perusahaan bangkrut dan harus memutus hubungan kerja pegawai-pegawainya. Harga-harga kebutuhan pokok pun merangkak naik dengan pesat.

Rakyat yang lapar menjadi mudah tersulut emosi, hingga melampiaskannya kepada kalangan yang lebih mapan. Dalam hal ini, etnis Cina yang paling banyak menjadi korban.

Penjarahan massal dengan cepat menjalar di berbagai tempat di Jakarta. Pada tanggal 13 Mei 1998, massa mulai melakukan penjarahan di wilayah Cengkareng dan Glodok. Bagaikan virus, hampir seluruh pertokoan di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat dijarah dan dibakar oleh massa.

Petugas dari kepolisian yang berusaha menghentikan penjarahan tidak berdaya menghadapi massa yang kalap. Pos polisi dibakar. Mereka lalu berlarian bagai rusa yang diburu kawanan singa.

Tulisan "Milik Pribumi" juga mulai banyak terpampang di toko-toko yang tidak ingin menjadi sasaran penjarahan.

Pada 14 Mei 1998, kawasan pertokoan Mangga Dua menjadi korban selanjutnya. Sejak pagi, massa sudah mengerubungi kawasan tersebut demi mendapat barang-barang yang berharga. Dari Mangga Dua, massa lalu menyerbu wilayah Jakarta Tua yang banyak dihuni oleh etnis tionhoa.

Pada hari itu, di wilayah jakarta Selatan mulai meletup kerusuhan, tepatnya di daerah Pasar Minggu. Titik kerusuhan lalu menyebar ke daerah Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, dan Cipete dengan sangat cepat.

Di Jakarta Timur pun kerusuhan sudah terjadi. Penjarahan dan pertokoan menjadi pemandangan lazim di sana. Paling parah terjadi Di Yogya Plaza Klender Jakarta Timur, dimana 488 orang mati dalam kerusuhan.

Dari Klender, letupan amarah massa merembet ke Cempaka Putih, Pulo Gadung, hingga Matraman. Sore harinya giliran langit daerah Kramat Jati yang menjadi hitam karena bumbungan asap kerusuhan.

Para penjarah umumnya terdiri dari penduduk miskin perkotaan yang tidak terwakili dalam panggung politik. Mereka tidak memiliki pemimpin panutan, dan hanya mendapat nutrisi dari khutbah agitatif di masjid-masjid kecil.

"Mereka kemudian melampiaskan (emosi) kepada simbol-simbol yang tidak terjangkau, seperti bank, mesin ATM, supermarket, showroom mobil dan sepeda motor milik orang-orang China," kata Gerry.

Kerusuhan berangsur berhenti pada tanggal 15 Mei 1998. Kala itu, pos polisi di Pulomas, Jakarta Timur yang dibakar massa menjadi penanda suasana menjadi lebih dingin. Kemudian terjadi beberapa penjarahan susulan yang dilakukan pemulung, namun tidak sampai seperti di dua hari sebelumnya.

Demonstrasi Mahasiswa

Selain kerusuhan yang terjadi akibat krisis ekonomi, massa yang tidak tahan dengan krisis politik juga melakukan aksi yang tak kalah besarnya. Umumnya, mereka adalah mahasiswa dari berbagai daerah yang menuntut agar Soeharto turun dari jabatan.

Pada tanggal 12 Mei, mahasiswa universitas Trisakti, Jakarta berkumpul di kampus merencanakan demonstrasi untuk merong-rong rezim otoritarian tua. Pukul 12.30, sekitar 6.000 mahasiswa bergerak menuju gedung parlemen di Senayan. Namun, pihak aparat tidak memperkenankan.

Mahasiswa tidak ingin kembali ke kampus seperti yang dianjurkan aparat. Mereka tetap bertahan di jalan seraya menyanyikan lagu-lagu nasional.

Sore harinya, pada pukul 16.45, aparat meminta agar mahasiwa harus bersih dari jalan raya dan kembali masuk ke wilayah kampus. Suasana menjadi panas. Ratusan mahasiswa, yang sebagian dari mereka membawa bunga, berhadap-hadapan dengan barisan petugas dengan wajah garang.

Tak lama, seorang petugas menembakkan senjatanya ke udara. Aparat lalu menyerbu, menembakkan gas airm mata, dan memukul ke arahnmahasiswa. Mahasiswa lalu berhamburan mencari tempat berlindung. Ada yang bersembunyi di dalam gedung, kios, juga berlari menuju kampus Trisakti.

Hingga pukul 18.00, peluru aparat telah menggugurkan empat mahasiswa, antara lain Hafidin, Roiyan, Hery Hartanto, Hendriawan, dan elang Mulya Lesmana.

Kematian empat mahasiswa membuat suasana menjadi semakiin mendidih. mahasiswa dari berbagai daerah mulai mendatangi Jakarta. Mereka ingin ikut serta berperan dalam menamatkan riwayat Orde Baru yang telah berkuasa 32 tahun lamanya.

Jumlah mahasiswa yang berdemontrasi semakin hari semakin melejit jumlahnya. Hingga pada tanggal 18 Mei 1998, demonstran berhasil menduduki gedung DPR/MPR. Kemudian pada tanggal 21 Mei, Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya yang disiarkan oleh televisi.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER