Jakarta, CNN Indonesia -- Bahaya intoleransi di Indonesia disebut kian meningkat pasca vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada terdakwa penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Aksi intoleran menjadi lampu kuning untuk pemerintah.
Sosiolog Musni Umar berpendapat, harus ada kesepakatan bersama untuk mengatasi persoalan intoleransi di Indonesia. Jika sikap intoleran terus dibiarkan, maka gelombangnya akan menyebar ke daerah dan bertumbuh subur, sehingga dapat mengacaukan stabilitas negara.
Para elite politik, menurut Musni, harus mampu menjaga komunikasinya, dan tidak mementingkan golongan. Tujuan besarnya adalah keutuhan bangsa dan negara ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tumbuhkan kesadaran terutama para elite di daerah. Hentikan perkataan yang memprovokasi rakyat," kata Musni kepada
CNNINdonesia.com, kemarin.
Musni mengatakan, persoalan intoleransi sebelum dan sesudah kasus Ahok disebabkan karena elite politik tidak bersikap negarawan.
"Saya salahkan para elite. Pasti ada orang yang mengorganisasi (praktik intoleransi) baik dari partai atau apapun juga," kata Musni.
Selain pro dan kontra kasus Ahok yang diwarnai gelombang unjuk rasa antar pendukung dan penentang Ahok, Musni mencontohkan kasus penolakan warga Sulawesi Utara saat kedatangan Wakil ketua DPR Fahri Hamzah. Baik Ahok maupun Fahri, tidak mampu menunjukan taringnya sebagai elite politik nasional yang harus dihargai, diterima, dan mungkin dieluk-elukan warga.
Virus IntoleranSikap intoleransi ditunjukkan dengan maraknya gelombang unjuk rasa kelompok pro dan kontra vonis Ahok. Ujaran kebencian berbau SARA di media sosial, merebak seperti virus ke daerah-daerah.
Sebagian warga mudah tersinggung, marah, hanya gara-gara ujaran di media sosial, yang belum dapat dipastikan kebenarannya. Lampu kuning peningkatan intoleransi pascavonis Ahok telah berkedip.
Tengok saja, gara-gara sering mengeluarkan pendapat keras tentang Ahok saat kasus penodaan agama bergulir, Fahri 'dikejar' warga yang menolak kehadirannya di Manado, Sabtu lalu (13/5). Alasan massa: Fahri dianggap sering mengeluarkan lontaran yang dapat merusak kerukunan bangsa.
Tak hanya Fahri, sebagian warga kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) juga tersulut emosinya. Gara-gara menulis tautan yang dinilai menghina warga NTT soal toleransi beragama, sekelompok orang melaporkan pengguna Facebook berinisial PGJ ke polisi.
Dia diduga sengaja menyebar kebencian dan mengganggu suasana toleransi beragama di kota tersebut. Kini PGJ sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar UU ITE. Beberapa hari lalu dia resmi ditahan di rutan wanita.
Paranormal Ki Gendeng Pamungkas juga diciduk polisi karena 'terserang' virus intoleran. Dia dengan sengaja menyebarkan video dan atribut anti China ke media sosial dan warga. Gendeng dijerat dengan UU penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
Meski tidak semuanya tercatat dan terpantau media, masalah intoleran tetap menjadi momok.
Di Jakarta misalnya, selama perhelatan Pilkada DKI 2017, Public Opinion and Policy Research (Populi) Center menyebut intoleransi di kalangan warga ibu kota meningkat selama Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Praktik intoleran dinilai Populi Center sudah masuk tahap mengkhawatirkan.
Direktur Populi Center Usep S Ahyar mengatakan, praktik intoleran yang meningkat terbukti dengan semakin banyak sebaran fitnah dan larangan-larangan berbau agama yang dilontarkan satu kelompok untuk menjatuhkan kelompok lainnya.
Usep memaparkan sebanyak 22,6 persen warga DKI setuju jika saat ini intoleran di Jakarta mencapai tahap sangat mengkhawatirkan. Sebanyak 48,7 persen menyebut mengkhawatirkan, dan sisanya sebanyak 21,3 persen tidak memberi jawaban.
Di luar masalah Ahok dan Pikada DKI, masalah intoleran secara nasional tercatat dalam survei Setara Institute yang dirilis pada Februari 2017.
Dalam laporan tahunan tentang survei kondisi kebebasan beragama atau berkeyakinan selama 2016, Setara mencatat, terjadi 208 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sepanjang tahun lalu. Ada 270 tindakan pelanggaran kebebasan beragama yang tersebar di 24 daerah.
Dari jumlah itu, sebagian besar pelanggaran terjadi di Jawa Barat dengan 41 peristiwa, disusul DKI Jakarta dengan 31 peristiwa, dan Jawa Timur dengan 22 peristiwa.
Dari 270 tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan, tercatat 140 tindakan pelanggaran yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor. Dan, 123 di antaranya dalam bentuk tindakan aktif, sementara 17 tindakan merupakan tindakan pembiaran.
Setara Institute menyebut, aktor nonnegara yang paling banyak melakukan tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan tertinggi adalah kelompok warga, diikuti organisasi masyarakat.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar melihat masalah intoleransi setelah kasus Ahok dan Pilkada DKI menyebar ke daerah-daerah.
Pria yang akrab disapa Cak Imin itu meminta agar virus intoleran tersebut harus dihentikan.
"Setop semuanya, kita harus
move on menjadi bagian yang bersatu padu membangun bangsa ini. Segera hentikan urusan yang menyangkut Pilkada DKI, titik," ujar Cak Imin usai melantik pengurus DPW PKB Nusa Tenggara Barat di Mataram, kemarin.
Menurut Cak Imin, meski ada perbedaan yang sangat tajam dan membuat situasi memanas setelah Pilkada DKI, dia meminta hal itu tidak diperpanjang. Dia berharap seluruh pihak meredam emosi, menurunkan tensi, dan bisa kembali berbaur dengan teman dan kolega.