Persekusi Dilakukan Serampangan, Sasaran Tersebar

CNN Indonesia
Sabtu, 10 Jun 2017 19:30 WIB
Sasaran serangan persekusi masih tersebar, tidak tertuju pada kelompok atau entitas tertentu. Beberapa di antaranya karena mengkritik Rizieq Shihab.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Filani Olyvia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Praktik persekusi di Indonesia dinilai belum mengarah kepada salah satu suku, agama, ras, atau golongan tertentu. Pemburuan sewenang-wenang diyakini terjadi secara sembarangan.

Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar berkata, bukti persekusi secara serampangan itu tampak dari kasus dokter Fiera Lovita yang bekerja di RSUD Kota Solok. Menurutnya, persekusi kepada Fiera tidak terjadi karena latar belakang gender, agama, atau pandangan politiknya.

"Sasaran serangan persekusi masih tersebar, tidak tertuju pada kelompok atau entitas tertentu. Serangan pada dokter Fiera kan tidak karena dia gendernya perempuan, atau Islam, atau pandangan politiknya, tapi kan karena dia mengkritik Rizieq Shihab," tutur Wahyudi di Kantor Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Sabtu (10/6).

Kekaburan target persekusi juga terlihat dari korban-korban lain di luar Fiera. Menurut Wahyudi, ada enam unsur suatu tindakan bisa dibilang sebagai sebuah persekusi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Unsur pertama, pelaku persekusi secara kasar atau dengan kejam menghilangkan atau mencaplok, bertentangan dengan ketentuan hukum internasional, hak‐hak fundamental dari satu atau lebih orang.

Kedua, tindakan tersebut menjadikan orang-orang sebagai target dengan alasan identitas dari suatu kelompok atau berdasarkan identitas kolektif; atau menyasarkan tindakannya pada suatu kelompok.

Ketiga, penentuan target semacam itu didasarkan pada bias politik, ras, nasional/kebangsaan, etnis, budaya, agama, gender atau dasar‐dasar lain, yang diakui secara universal sebagai tindakan yang tidak dibolehkan dalam hukum internasional," katanya.

Unsur keempat, persekusi dilakukan dalam kaitan dengan berbagai perbuatan yang dimaksudkan dalam Statuta Pasal 7 ayat 1 Statuta Roma 1998, atau berbagai jenis kejahatan yang termasuk dalam jurisdiksi Mahkamah.

Kelima, tindakan itu dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil.

Terakhir, pelaku mengetahui bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari serangan meluas atau sistematik terhadap suatu kelompok penduduk sipil .

"Aturan tentang persekusi bisa mengacu pada Statuta Roma 1998 yang sampai sekarang belum diratifikasi Indonesia. Namun ada UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Dalam pasal 9 huruf h UU 26 disebutkan definisi persekusi, tapi bahasanya masih bahasa penganiayaan," katanya.

Wahyudi juga berkata, persekusi sebenarnya telah lama terjadi di Indonesia. Kejadian tersebut bahkan disebut pertama kali muncul saat Gerakan 30 September berlangsung.

"Kemudian peristiwa Petrus, Talangsari, Daerah Operasi Militer di Aceh, lalu kejahatan di Papua dan Mei 1998 dan setelah reformasi satu bentuk yang jelas adalah persekusi terhadap kelompok Ahmadiyah," katanya.

Praktik pesekusi yang belakangan marak terjadi merupakan respons dari kelompok pendukung pentolan FPI Rizieq Shihab. Mereka menduga ada upaya kriminalisasi ulama pascaputusan hakim kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kelompok ini memburu siapa pun yang dianggap menghina tokoh panutannya.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER