Jakarta, CNN Indonesia -- Panitia Kerja RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan pemerintah sepakat untuk memasukan tindak pidana korupsi ke dalam KUHP. Namun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) keberatan delik korupsi dimasukan ke KUHP.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif tetap menginginkan delik korupsi diatur di luar KUHP. Karena, menurutnya, perkembangan aturan tindak pidana korupsi sangat dinamis.
"Kalau di KUHP untuk mengubah itu sangat sulit karena KUHP itu kodifikasi," ujar Laode di gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/6).
Selain aturan soal tindak pidana korupsi, Laode juga menyarankan, ketentuan tentang kejahatan narkotik dan terorisme juga lebih tepat diatur dalam UU tersendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laode khawatir masuknya delik tindak pidana korupsi, terorisme dan narkotika ke dalam KUHP akan membuat KPK maupun lembaga lain yang terkait terorisme dan narkotik kehilangan sifat kekhususannya atau
lex specialis-nya.
"Kami berpikir BNN maupun KPK berharap itu diatur di luar KUHP. Itu harapan kami. Sudah kami sampaikan ke Kemenkumham tapi belum ada
update-nya," ucap Laode.
Sebelumnya, sempat terjadi perdebatan panjang antara KPK, pemerintah, dan DPR dalam memutuskan masuknya delik tindak pidana korupsi dalam KUHP.
Kepala Bagian Litigasi dan Nonlitigasi KPK, Evi Laili Cholis tidak setuju dengan keputusan pemerintah dan DPR lantaran khawatir UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Sementara Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan alasan dimasukannya tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP adalah untuk membangun sistem hukum pidana yang baik dan benar.
Sebab, tindak pidana korupsi sebagai
lex specialis memerlukan
lex generalis dalam hukum pidana.
Yasonna menepis kekhawatiran bahwa KPK akan kehilangan kewenangannya lantaran tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP.
Kata Yassona, aturan itu disebut tidak akan menghapus sifat
lex specialis KPK.