Seorang Miryam dan Mencegah Gelombang 'Cicak Lawan Buaya'

CNN Indonesia
Kamis, 22 Jun 2017 11:51 WIB
Pansus DPR meminta polisi menghadirkan Miryam Haryani untuk diminta keterangannya, namun ditolak. Upaya ini dinilai bisa menciptakan kembali Cicak Lawan Buaya.
Pansus DPR meminta polisi menghadirkan Miryam Haryani untuk diminta keterangannya, namun ditolak. Upaya ini dinilai bisa menciptakan kembali Cicak Lawan Buaya. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.)
Jakarta, CNN Indonesia -- Belum usai polemik keabsahan pembentukan panitia khusus hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kontroversi kembali dipertontonkan anggota dewan kepada publik. Salah satu potensi yang harus diantisipasi dalam persoalan ini adalah benturan antara kepolisian dan KPK.

Hal ini bermula saat salah seorang anggota pansus angket KPK, Muhammad Misbakhun mengusulkan 'pemboikotan' anggaran Polri dan KPK tahun 2018 lantaran merasa kesal, tersangka kasus dugaan keterangan palsu dalam persidangan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) Miryam S. Haryani, tidak dapat dihadirkan dalam rapat pansus.

Saat itu, Pansus meminta kepolisian dapat menghadirkan Miryam karena diatur dalam kewenangan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Namun, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus berpendapat lain. Dia menilai, wacana itu merupakan bentuk arogansi dan sikap tidak bijak anggota dewan dalam menghadapi persoalan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sangat disayangkan sebuah lembaga dengan kekuasaan yang super harus menggunakan cara-cara intimidatif agar kemauannya dituruti," kata Lucius kepada CNNIndonesia.com, Kamis (22/6).
Menurutnya, sikap intimidasi itu telah memperlihatkan maksud terselubung DPR dalam pembentukan pansus angket yang sejak awal dinilai sudah dipaksakan. Ada upaya lain yang disebut untuk memuluskan tujuan dari partai pendukung pansus angket.

Lucius menuturkan, ancaman pemboikotan anggaran juga telah memperlihatkan ketidakpedulian parlemen atas pelayanan publik yang menjadi tanggungjawab Polri dan KPK kepada masyarakat.
Boikot Anggaran dan Mencegah Gelombang 'Cicak Lawan Buaya'(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
"Jadi alih-alih menampilkan argumentasi yang rasional, pansus angket justru memperlihatkan kualitas argumentasi yang lebih menggunakan pendekatan emosional," katanya.

Selain itu, kata Lucius, pemboikotan sebuah anggaran tidak serta-merta dapat dilakukan secara sepihak. Apalagi anggaran Polri dan KPK pada akhirnya bermuara pada APBN yang disepakati DPR dan pemerintah.

"Oleh karena itu sesuatu yang sulit jika DPR secara sepihak mau memboikot, karena pemerintah bisa saja akan melakukan hal serupa terhadap anggaran bagi DPR, misalnya," ujarnya.


Bukan Kewajiban

Satu sisi, Lucius berpendapat, Pasal 204 dan 205, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang menjadi polemik soal pemanggilan paksa Miryam, tidak sangat kuat untuk memaksa Polri menuruti kehendak DPR.

Sebab keterlibatan Polri dalam melakukan pemanggilan dinilai hanya merupakan bentuk bantuan dan bukan kewajiban.

"Jadi itu artinya pasal 204 dan 205 itu tidak sangat kuat untuk memaksa kepolisian menjalankan permintaan DPR. DPR juga tak bisa serta merta menganggap semua permintaannya akan dipenuhi kepolisian," ujarnya.

Di sisi lain, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane meminta, agar Polri tidak terpengaruh dengan ancaman boikot anggaran yang dilontarkan 'oknum' anggota pansus angket.

Menurutnya, langkah Polri tidak menghadirkan Miryam sudah tepat karena salah satu alasannya adalah menghindari benturan antara Polri dan KPK.

"Dasar hukum pemanggilan paksa itu tidak jelas karena tidak ada petunjuk pelaksanaan dari UU MD3. Sehingga jika polisi memanggil paksa Miryam sementara yang bersangkutan ada di tahanan KPK, hal ini bisa menimbulkan benturan antara Polri dan KPK," kata Neta dalam keterangannya.

Diketahui, konflik antara Polri-KPK terjadi beberapa kal yang dikenal dengan istilah Cicak versus Buaya.

Pada 2009, misalnya, Kabareskrim Komjen Susno Duadji merasa dirinya disadap KPK terkait dengan penanganan kasus dugaan korupsi Bank Century. Konflik kedua terjadi pada 2012, saat KPK menyelidiki kasus dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan Kakorlantas Irjen Djoko Susilo.

Di sisi lain, Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam keterangannya, menyatakan aturan dalan pasal 204 ayat (3) UU MD3 tentang upaya pemanggilan paksa bertentangan dengan hukum acara. Oleh karena itu, Polri menolak memanggil paksa tersangka Miryam S. Haryani.
Boikot Anggaran dan Mencegah Gelombang 'Cicak Lawan Buaya'Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang dijadikan tersangka kasus kesaksian palsu di MK, setelah lembaga itu menyelidiki kasus simulator SIM. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Penolakan Polri juga terlihat sejalan dengan KPK yang lebih dulu menyatakan sikapnya melalui surat ke pansus angket pada Senin lalu. Dalam surat KPK itu pun disebutkan, upaya menghadirkan Miryam selaku tersangka merupakan bagian dari tindak pidana menghambat penyidikan perkara.

“Dengan mengabaikan ancaman oknum Pansus itu, jajaran Polri bisa lebih fokus dan profesional dalam menjaga keamanan masyarakat,” kata Neta.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER