Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok teror ISIS, termasuk pada dua serangan terakhir terhadap anggota polisi baru-baru ini, kerap menggunakan senjata sesederhana pisau dapur atau senjata tajam dalam mengincar sasarannya. Meski tidak memakan banyak korban seperti aksi bom bunuh diri, cara ini justru memicu tingkat ancaman yang lebih tinggi.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia dan sebenarnya berakar dari Timur Tengah, kawasan asal-muasal kelompok teror itu sendiri. Sebelum meninggal dunia, juru bicara ISIS Al Adnani pada pertengahan tahun lalu memerintahkan semua anggota, simpatisan, di mana pun untuk bisa melakukan aksi teror dengan cara apa pun, bahkan jika hanya mampu menggunakan pisau dapur.
Terbukti, sejumlah serangan di dunia baru-baru ini dilakukan dengan sederhana. Jika tidak dengan pisau, maka mereka menggunakan mobil untuk menabraki para korbannya. Dua alat yang mereka jadikan senjata itu, jelas, dapat diperoleh jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan bahan peledak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, mengatakan serangan dengan biaya rendah seperti ini bisa menjadi lebih berbahaya karena hampir siapa pun juga bisa melakukannya.
"Bom hanya orang tertentu yang bisa melakukan, tapi serangan pisau ini siapapun juga, asal mentalnya kuat dan sudah tercuci otak bisa melakukan. Ini
low-cost terorism, jauh lebih berbahaya dibanding serangan menggunakan bom mobil seperti di era bom bali," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com, Senin (3/7).
 Dua anggota Brimob menjadi korban penikaman di Masjid Falatehan yang berada di dekat Lapangan Bhayangkara Mabes Polri. (Antara/ Sigid Kurniawan) |
Dia juga mengatakan teror pisau ini secara spesifik lebih mengincar aparat keamanan dan penyelenggara pemerintahan, terutama polisi yang dinilai sebagai musuh utama karena kerap menangkapi dan membunuh anggota jaringan teroris. Warga sipil, dalam hal ini, sama sekali tidak menjadi incaran karena tidak memberikan dampak yang besar bagi jaringan pelaku.
"Ancaman lebih tinggi ini dari sisi momentum, karena lebih sulit diprediksi kapan dan di mana serangan itu akan terjadi. Seperti yang kemarin di Blok M juga kan sedang solat ditusuk," kata Ridlwan, merujuk pada penusukan di Masjid Falatehan, tepat di seberang Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat pekan lalu.
Pelaku menyerang dengan menusuk dua anggota Brimob usai salat Isya. Kedua anggota bernama Ajun Komisaris Dede Suhatmi dan Brigadir Satu M Syaiful Bakhtiar saat itu tengah salat di saf ketiga dalam masjid.
Pelaku yang menyerang korban langsung melarikan diri ke arah Terminal Blok M. Ketika dalam pengejaran oleh anggota Brimob lain, pelaku diduga berbalik melawan dan akhirnya ditembak di bagian kepala dan dada.
Menurut pengamat terorisme dari Community Of Ideological Islamic Analyst, Harits Abu Ulya, serangan semacam itu, meski bisa dilakukan oleh semua orang, tetap saja tidak akan dilakukan oleh orang-orang biasa.
[Gambas:Video CNN]"Tidak cukup hanya punya pisau dapur, gunting atau silet kemudian seseorang bisa lakukan teror kapan saja. Tapi juga ada faktor niat, kenekatan dan situasi yang melingkupi, artinya faktor internal dan eksternal individu," ujarnya lewat pesan singkat.
Dia pun merujuk pada perintah dari pimpinan ISIS untuk melakukan aksi di mana pun dan melakukan perang terbuka atau serangan-serangan terbatas seperti bom bunuh diri atau serangan lain.
Serangan pisau, kata dia, dilakukan karena keterbatasan alat dan dana. Para teroris tidak mau berhenti melancarkan aksinya hanya karena alasan-alasan seperti itu.
"Karena pada prinsipnya, keterbatasan itu bukan halangan untuk melakukan aksi serangan," kata Harits. "Maka pilihannya adalah dengan menggunakan apa yang ada dan bisa mereka pakai."
"Meskipun hanya dengan silet, kalau memang punya niat, kenekatan dan kesempatan plus militansi, maka semua bisa terjadi," kata Harits.
Yang membuat ancaman ini semakin berbahaya adalah kelompok teror tidak lagi pilih-pilih dalam merekrut anggotanya. Dapat dikatakan, para teroris ini membuka usaha waralaba tanpa syarat agar siapapun bisa melakukan aksi atas nama ISIS, dan kelompok itu bisa langsung mengklaimnya meski tidak ada hubungan langsung dalam rantai komando.
"Dulu di era bom Bali, mereka spesifik mencari kader orang mana, melihat apakah dia intel polisi atau bukan. Kalau sekarang disebar sebanyak-banyaknya,
franchising terror, siapapun juga bisa melakukan hanya dengan men-
download materi-materi terorisme di internet," kata Ridlwan.
Contohnya, kata dia, Bahrun Naim baru-baru ini membuat panduan membuat ranjau lewat Telegram. Informasi yang dibagikan tokoh dibalik serangan teror Thamrin itu pun bisa dengan mudah disebar ke publik.
"Ini baru minggu lalu. Harus daftar dulu tapi siapapun, asal punya kemauan, pasti bisa bergabung." ujar Ridlwan.