Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian menyatakan, sulit untuk melumpuhkan Mulyadi terduga teroris yang melakukan penikaman terhadap dua anggota Brigade Mobil (Brimob) di Masjid Falatehan, Kebayoran Lama, Jakarta, pada Jumat (30/6) lalu.
Pernyataan ini disampaikan Tito dalam menanggapi kritik yang disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) atas tindakan polisi menembak mati tersangka penikaman terhadap dua anggota Brimob di Masjid Falatehan.
Menurutnya, polisi mengalami kondisi yang sulit untuk melepaskan tembakan sekadar melumpuhkan kala itu. Sebab, pelaku tengah berlari untuk mengejar anggota Brimob sambil mengacungkan sangkur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat situasi itu, lanjut dia, anggota Brimob memutuskan memakai diskresi untuk menembak pelaku di bagian kepala.
"Kenapa ditembak pak? Kalau menyerah enak, tapi ini kejar-kejaran sampai 200 meter sambil mengacungkan sangkur untuk melukai anggota lain. Kami inginnya tembak dilumpuhkan supaya bisa dikorek, tapi dia posisi lagi bergerak. Tidak gampang membela diri sambil menembak yang melumpuhkan," kata Tito di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (4/7).
Mantan Kepala Detasemen Khsusus 88 Antiteror Polri itu pun menyatakan, langkah menembak mati terduga teroris di Masjid Falatehan sudah tepat.
Dia menuturkan, aturan internasional mengizinkan polisi atau aparat penegak hukum untuk menembak mati pihak-pihak yang menimbulkan ancaman di tengah masyarakat.
"Pokoknya, prinsip menghentikan ancaman itu supaya tidak jadi ancaman, bila perlu tembak kepalanya," ucap Tito.
Lebih jauh, jenderal polisi bintang empat itu mengambil contoh serangan teroris di negara lain. Dia mengatakan, polisi juga memakai diskresi untuk menembak mati pelaku penyerangan Gereja Saint-Etienne-du-Rouvray di Rouen, Normandy, Perancis pada Juli 2016.
Berangkat dari hal tersebut, Tito menegaskan, penggunaan diskresi untuk menembak mati teroris tidak hanya berlaku di Indonesia.
"Saya pernah tanya di Amerika, apakah ada tembakan peringatan, tidak ada. Sepanjang sudah ancam petugas dan masyarakat dan itu berbahaya yang ditembak bukan kakinya, kami tembak kepalanya, yang penting ancaman itu berhenti," tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Koordinator KontraS, Puri Kencana Putri, menyayangkan sikap Polri yang menembak mati tersangka penikaman terhadap dua anggota Brimob di Masjid Falatehan.
Dia menilai, tembak mati tersangka di tempat bukan cara yang bijak untuk menekan aksi kelompok-kelompok teror. Aksi tembak mati juga tidak efektif dalam memutus rantai teror dan kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu.
"Karena dengan mematikan (tersangka), polisi tidak pernah tahu apa motif di balik aksi kekerasan itu. Kalau balas dendam dibalas dengan brutalitas tentu tidak menunjukkan watak Polri yang seharusnya menjunjung agenda penegakan hukum," ujar Puri lewat pesan singkat kepada
CNNIndonesia.com, Sabtu (2/7).
Puri lebih lanjut mengingatkan Polri untuk tidak memanfaatkan simpati masyarakat untuk membenarkan penembakan mati terhadap tersangka atau terduga teroris, tanpa didasari alasan yang jelas.
Sebagai aparat penegak hukum, polisi tetap perlu meninjau ulang besarnya ancaman sebelum memutuskan untuk mengakhiri nyawa tersangka.
"Polri harus menjaga rasionalitas ukuran penegakan hukum yang berlaku di negara ini," kata Puri.