Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan narapidana sering mendapatkan cibiran masyarakat usai menyelesaikan masa hukumannya. Tak terkecuali para mantan narapidana kasus terorisme atau yang disebut napiter.
Pandangan negatif dari masyarakat tersebut, membuat para mantan napi teroris sulit untuk mendapatkan pekerjaan sehingga sulit untuk bisa memenuhi kebutuhan ekonomi.
Salah satu hambatannya adalah persoalan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), di mana dalam SKCK tersebut tertera keterangan bahwa mereka merupakan seorang mantan napi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pejabat Direktorat Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Polri, Ajun Komisaris Besar Syuhaimi mengatakan dalam SKCK memang akan selalu dijelaskan tentang catatan kriminal seseorang.
"Siapa pun yang punya catatan kriminal tentu ditulis, karena memang catatannya sudah ada, bukan hanya teroris, itu sifatnya umum, misal ada yang pernah melakukan pencurian ya tentu di catatan kriminalnya ada," kata Syuhaimi saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Juni.
Permasalahan SKCK tersebut, menjadi penghambat para mantan napiter untuk bisa melamar pekerjaan ke perusahaan.
Terkait hal itu, Baintelkam Polri mengajak Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) untuk mendorong para mantan napi teroris tersebut menjadi seorang pengusaha.
"Dengan adanya kami kemarin bicara dengan APKLI itu harapannya kesulitan-kesulitan yang mereka alami di lapangan akan lebih mudah, dengan misalnya bikin usaha-usaha yang memungkinkan dengan kemampuan dan potensi masing-masing," ucap Syuhaimi.
 Usai terjerat kasus terorisme, mantan narapidana relatif kesulitan untuk bekerja kembali karena statusnya. (ANTARA FOTO/Maulana Surya) |
Memberdayakan Eks NapiterKetua APKLI Ali Mahsum mengatakan pihak APKLI mendukung langkah pemberdayaan ekonomi untuk para mantan napi tersebut. APKLI telah menyiapkan program Revolusi Kaki Lima Indonesia untuk mendukung proses pemberdayaan terhadap para mantan narapidana terorisme.
"APKLI menyampaikan sebuah program revolusi kaki lima, saya minta data (mantan napiter) akan kami bina jadi binaan APKLI. Kami siapkan semua perangkat agar mereka jadi pengusaha, mulai dari lahan, modal, pelatihan untuk manajemen usaha, sistem barang, dan lainnya," ujar Ali.
Ali mengungkapkan APKLI akan pro aktif dalam mendukung pemberdayaan ekonomi kepada mantan napi teroris tersebut. Hal ini dikarenakan APKLI melihat adanya kesulitan yang dialami oleh para mantan napiter ketika kembali ke masyarakat.
"Narapidana teroris secara psikologi di masyarakat juga dikucilkan, maka kami mendorong mereka untuk mandiri secara ekonomi, dan memang sebagian besar kesulitan mencari sumber mata pencaharian," katanya.
Ali juga menyebut pihak APKLI akan tetap melakukan pemberdayaan ekonomi terhadap para mantan napiter, meskipun tidak ada dukungan pemerintah. Ali mengungkapkan APKLI aka menyediakan dana mandiri bagi para mantan napi teroris untuk bisa membuka usaha.
 Ilustrasi pedagang kaki lima. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Kami akan siapkan dana mandiri dari asosiasi untuk pemberdayaan mereka, tidak diambilkan dari program pemerintah. Kalau memang mereka terkendala soal administrasi misalnya SKCK, surat keterangan usaha, kami akan lakukan pakai dana mandiri asosiasi," ujar Ali.
APKLI menargetkan dengan program revolusi kaki lima tersebut, setidaknya pada 2017 sudah bisa membuat seorang mantan napi teroris bisa membuka usaha mandiri untuk bisa memenuhi kebutuhan ekonominya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Haryadi Sukamdani juga mendorong para mantan napi teroris untul lebih mandiri dengan cara berwiraswasta dengan membangun usaha sendiri, bisa dengan cara berdagang dan sebagainya.
"Kami mendorong agar mereka melakukan wiraswasta, membangun usaha secara mandiri," kata Haryadi kepada CNNIndonesia.com.
Meski begitu, Haryadi mengatakan jika setelah mereka dalam membangun usahanya, perusahaan akan membuka peluang agar mereka bisa melakukan kerja sama dengan perusahaan.
"Iya kalau nanti setelah sukses mereka mau bermitra dengan perusahaan, silakan,” ujarnya.