Dia dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta dan akhirnya bebas pada 2015, setelah menerima remisi.
Kata Sofyan, biasanya, ajakan untuk merampok atau fai dilontarkan para bekas napiter ketika tekanan ekonomi melanda mereka.
Sebagian dari bekas napiter merasa kehidupan di luar penjara lebih sulit ketimbang di dalam penjara atau ketika berada dalam kelompok teroris.
Di luar penjara, mereka terkatung-katung, tanpa pekerjaan, tak ada penghasilan. Apalagi cap teroris yang selalu melekat pada mereka. Masyarakat, keluarga besar, seringkali mengucilkan mereka.
"Enakan di dalam (jaringan teroris) ke mana-mana," kata Sofyan.
Sofyan memilih keluar dari jaringan teroris. Keputusan itu, dia ambil sejak menjalani hukuman di penjara Cipinang.
Di dalam penjara, dia mendapati hal-hal aneh dan asing di antara sesama jihadis. Hal yang tidak lumrah dan tidak pernah ditemukan selama dia memahami Islam, ditemukan di penjara.
 Ilustrasi. Eks narapidana teroris kerap kesulitan untuk mencari pekerjaan usai keluar dari LP.(ANTARA FOTO/Reno Esnir) |
Sikap-sikap aneh yang ditunjukkan kelompok teroris Aceh, di antaranya, menikah tanpa wali. Kelompok-kelompok itu melakukan pernikahan tanpa melibatkan wali untuk mempelai wanita, mereka menjadikan wali hakim dari
asatidz mereka yang bisa dipercayai bisa menjadi wali.
Ini, kata Sofyan, adalah pelanggaran syariat yang paling serius di antara kesesatan mereka,
Sikap lainnya, napi teroris tidak mau memakan sembelihan yang disediakan di penjara karena diragukan kehalalannya.
Menurutnya, seorang pimpinan kelompok sering menulis secarik kertas dan berkeliling kamar per kamar untuk mengimbau ikhwan-ikhwan di penjara agar jangan mau makan daging sembelihan terlebih daging dari aparat sipir penjara saat itu.
Kejanggalan lainnya, adalah mereka tidak mau salat di Masjid. Mereka menganggap bahwa masjid-masjid dibuat pemerintahan atau masjid di luar dari kelompok mereka adalah masjid Dhirar.
Tak hanya itu, mereka juga tidak mau menjawab salam dari Ikhwan yang berbeda pendapat dengan mereka. Artinya mereka dilarang bermakmun dengan orang yang mereka anggap menyelisihi akidah.
 Ilustrasi perampokan. Perampokan sering dipakai kelompok teroris sebelum melakukan aksinya. (Thinkstock/Tomaso79) |
Persimpangan JalanKeputusan Sofyan memutuskan keluar dan memilih 'jalan damai', bukanlah keputusan mudah. "Saya seperti berada di persimpangan jalan,"kata Sofyan.
Rekan-rekan 'jihadis’-nya menganggapnya sebagai pengkhianat karena dekat dengan pemerintah. Sedangkan pemerintah, juga belum selalu memerhatikannya.
"Saya bingung mau
ngapain," katanya dulu ketika keluar dari penjara, "Bahkan sampai tidak punya beras, mau pinjam uang ke teman-teman juga tidak ada yang memberi waktu itu."
Diakui Sofyan pemerintah lewat BNPT sebenarnya telah berupaya maksimal untuk membantu para narapidana teroris.
"Tapi, saya sadar pemerintah punya keterbatasan," kata Sofyan.
Orang seperti Sofyan jumlahnya ratusan. Pada 2016, Dalam sebuah makalah berjudul
Optimalisasi Peran Pencegahan Terorisme, seperti dikutip dari Kesbangpol Kemendagri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memaparkan sejak tahun 2000-an ada 1.143 orang yang tertangkap terkait kasus terorisme.
Ada 598 orang telah bebas, sedangkan 204 orang masih menjalani hukuman di 47 Lapas di 13 Provinsi. Maret lalu, BNPT menyatakan ada sekitar 400 orang yang belum terjamah program deradikalisasi.
Minimnya perhatian pemerintah, juga tak jarang, membuat banyak diantara bekas napi teroris yang kembali terjun menjadi teroris.
Sofyan mencontohkan, pelaku bom molotov di Samarinda, Juhanda. "Saya dengar dia dulu ingin membuat rumah makan mie aceh, tapi enggak jadi, dan ditawari menjadi marbot masjid di Samarinda. Eh tahu tahu ditangkap," kata Sofyan.
Ada juga, cerita tentang Muhammad Iqbal alias Kiki alias Ahong, guru agama yang ditangkap polisi karena terlibat bom Kampung Melayu.
Kiki merupakan bekas narapidana kasus terorisme dari Kelompok Cibiru, Bandung. Dia adalah guru mengaji dua pelaku bom Kampung Melayu, Ahmad Syukri dan Ichwan Nurul.
 Bom Samarinda menjadi salah satu fakta bahwa eks napiter bisa aktif kembali ke aksi teror. (ANTARA FOTO/Amirulloh) |
Mantan KombatanUpaya untuk membendung eks napiter kembali ke kelompoknya, tak hanya dilakukan oleh BNPT.
Adik terpidana bom bali I Amrozi, Ali Fauzi, misalnya. Dia bersama puluhan mantan Napi teroris membentuk Yayasan Lingkar Perdamaian di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur. Yayasan itu membina mantan kombatan dan keluarga-keluarga teroris.
Kepada CNNIndonesia, Ali mengatakan, harus ada program terpadu dari pemerintah untuk proses asah asih asuh para mantan terutama proses
mencari lingkungan baru yang pro kedamaian.
Program deradikalisasi, dinilainya belum maksimal. "Masih perlu ditingkatkan," katanya
Menurutnya, untuk pemberdayaan mantan napi teroris dan mantan jaringan teroris, BNPT mesti punya ‘agen-agen
peace’ sebagai tangan kanan dalam program moderasi.
"Sebab di mata mereka BNPT belum sepenuhnya mereka terima," katanya.
Namun, pada Maret silam, seperti dikutip dari Laman BNPT, Direktur BNPT Brigjen Hamidin--sekarang Hamidin menjabat Deputi Bidang Kerjasama Internasional--dalam paparannya menegaskan bahwa masih banyak kalangan yang belum mengerti tentang program BNPT.
Ini macam kontra-radikalisasi dan deradikalisasi.
Akibatnya, dengan gamblang sejumlah kalangan mengatakan deradikalisasi gagal. Padahal seandainya mereka mengikuti kegiatan BNPT di lapangan mereka pasti sadar betapa kemajuan yang telah dicapai BNPT.
Deradikalisasi, kata dia, adalah sebuah program yang bertujuan menetralkan pemikiran-pemikiran bagi mereka yang sudah terkapar dengan radikalisme.
Sehingga, mereka bisa kembali menjadi masyarakat biasa sebagaimana masyarakat lainnya. "Atau dengan kata lain menetralisir pemikiran radikalime," katanya.
Dan kontra-pemikiran radikal ala BNPT ini diharapkan berpengaruh hingga jauh, hingga ke dalam anggota grup WhatsApp para napiter yang masih tersebar di mana-mana.