Jakarta, CNN Indonesia -- Sofyan Tsauri ingat betul peristiwa yang menimpanya 6 Maret 2010. Dia bersama istri dan anaknya sedang menumpang taksi menuju rumahnya di kawasan Kota Bekasi. Tiba-tiba di Jalan Pangkalan 10, jalan Narogong, Cileungsi, Bogor, sebuah mobil menghadang laju taksi.
Sejumlah orang, yang diketahui anggota Densus 88 Antiteror turun dari mobil dan langsung menyeret Sofyan keluar dari taksi. Di depan anak dan istrinya Sofyan ditangkap.
Pria bernama lengkap Muhammad Sofyan itu diciduk Densus karena terlibat pelatihan teroris di Aceh. Dia pemasok utama senjata untuk para jihadis, istilah yang digunakan Sofyan untuk menyebut rekan-rekannya yang ikut berjuang dan mengikuti pelatihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak penangkapan itu, kehidupan Sofyan berubah. Dia menjalani hari-hari tersulit. Sofyan kemudian diterbangkan ke Polda Aceh untuk menjalani pemeriksaan.
Barulah, pada 13 Juni 2010 dia dipindahkan ke Jakarta untuk menjalani persidangan. Lokasi sidang ditetapkan di Pengadilan Negeri Depok. Kota tempat Sofyan dibesarkan.
Sebelum masuk ke jaringan kelompok teroris pimpinan Dulmatin, Sofyan merupakan anggota Polres Depok.
"Saya terakhir di Polres Depok, Patko, patroli komando di bawah sabara. Saya tidak pernah masuk Brimob. Saya dipecat 2009,” kata Sofyan kepada CNNIndonesia di rumahnya di kawasan Kota Bekasi, beberapa waktu lalu.
Pada 2011, Sofyan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh Pengadilan negeri Depok. Sofyan terbukti ikut terlibat membantu kegiatan tindak pidana terorisme dengan menyediakan 28 senjata dan belasan ribu peluru.
Dia dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta.Tak sampai masa Hukuman habis, Sofyan dibebaskan. Dia mengirup udara bebas pada 2015.
"Saya dapat remisi, karena saya dianggap berkelakuan baik," katanya.
Penangkapan tahun 2010 itu mengubah hidup Sofyan. Dia memilih keluar dari kelompok teroris.
Sekarang dia 'luntang-luntang' untuk menyambung hidup memenuhi kebutuhan dua istrinya, dan empat orang anak. "Mau lima anak saya," katanya.
 Sofyan Tsauri menyatakan kehidupannya relatif berat usai dirinya dibebaskan dari penjara karena kasus terorisme. (CNN Indonesia/S. Yugo Hindarto) |
Kadang-kadang dia ikut menjadi pembicara tentang deradikalisasi bila mendapat undangan BNPT atau stasiun televisi. Sesekali dia juga menulis. "Lumayan," kata dia.
Sofyan bercerita, kehidupannya sebelum bergabung dengan kelompok teroris terbilang cukup secara ekonomi."Saya jadi teroris itu bukan karena uang. Bisa dikatakan lumayan lah, penghasilan saya di polisi sudah Rp3 jutaan per bulan dulu," katanya.
Belum lagi, pendapatannya dari bisnis mainan yang dimilikinya di wilayah Kelapa Dua Depok. "Toko saya di Depok, bisnis
air softgun," kata dia.
Namun, bisnis jual-beli mainan yang dibangunnya selama bertahun-tahun kandas, setelah dia ditangkap.
"Pas saya dipenjara. Tahun 2013, Polda Metro Jaya menyita semua toko mainan saya di Depok, nilainya sekitar Rp500 juta," kata dia.
Tak Mengembalikan HartaTak hanya itu, istri saya juga sempat ditahan selama tiga bulan. "Sampai sekarang polisi tidak pernah mengembalikan harta saya," kata dia. "Saya kesal kelak akan saya tuntut di akhirat kelak," kata dia.
Kezaliman Polda saat itu membuat dia hampir menjadi teroris kembali.
Sofyan menyimpan kekecewaan dengan polisi, karena hingga sekarang barang-barang yang disita tak jelas keberadaannya. "Bisnis saya hancur, tulis saja," kata Sofyan.
Dibandingkan dengan saat di Aceh dia mengatakan, uang sangatlah mudah didapat.
Posisinya sebagai pemasok senjata memungkinkannya mendapatkan uang ratusan juta.
Gambaran saja, kata dia, satu pucuk senjata dia beli dari seseorang di gudang senjata logistik Cipinang seharga Rp15 juta. Kala itu, dia bisa memasok puluhan senjata.
"Setengah miliar kali dulu ada," kata dia.
Lain dulu, lain sekarang. Kini Sofyan pelan-pelan mencoba membangun bisnis barunya, jasa cuci atau
laundry."Sekarang masih menabung, ada bantuan dari pemerintah, tapi baru satu mesin cuci," kata dia.
Meski tekanan ekonomi yang dialaminya cukup berat, Sofyan mengklaim berupaya untuk tidak meminta bantuan kepada rekan-rekannya.
Sofyan juga sungkan. Karena, di mata rekannya sesama bekas teroris dia disebut jasus karena dekat dengan pemerintah. "Saya dianggap pengkhianat oleh teman-teman," katanya. "Di penjara saya hampir mati diracun."
Tapi di sisi lain pemerintah juga belum mampu memberikan penghidupan yang layak kepada napi-napi teroris seperti dirinya.
"Saya tidak meminta-minta kepada pemerintah, kami tahu pemerintah seperti BNPT memiliki keterbatasan," katanya.
 Eks narapidana kasus terorisme menyatakan kekesalannya kepada pihak kepolisian terkait dengan aksi mereka. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Persyaratan MenyulitkanDia menceritakan upayanya dalam menyambung hidup. Pernah dia ingin melamar menjadi supir taksi online. Namun, niat itu diurungkannya, karena persyaratan yang mengharuskannya melampirkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian.
"Kendalanya cuma SKCK, saya melamar ke mana pun juga sulit, mana ada perusahaan yang mau menerima napi teroris," katanya.
Dikatakan Sofyan, untuk menangani bekas napi terorisme butuh penanganan komprehensif.
Hal itu, kata dia, disebabkan oleh sugesti yang muncul sewaktu-waktu untuk kembali berperang.
"Kemiskinan, dan ketidakadilan bisa memicu," katanya.
Dia menyamakan bekas napi teroris sebagai pecandu narkoba yang mudah tersugesti kembali ketika melihat bong atau narkoba.
Begitu juga dengan teroris yang melihat aksi-aksi mujahid di televisi, dan juga penolakan-penolakan ulama dan umaro.
"Bisa saja seperti saya kembali lagi, karena ini ideologi," katanya.
(asa)