Mengukur Keberhasilan Polisi Lewat Densus Antikorupsi

CNN Indonesia
Sabtu, 29 Jul 2017 07:27 WIB
Pembentukan Densus Antikorupsi dianggap belum perlu. Sebab kinerja Polri menangani kasus korupsi belum teruji.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian foto bersama Pansus KPK. Kebijakan Kapolri membentuk Densus Antikorupsi dianggap tidak tepat. (CNN Indonesia/Joko Panji Sasongko)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana pembentukan Densus Antikorupsi Polri dinilai tak akan berdampak terlalu signifikan pada pemberantasan korupsi. Minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) hingga penumpukan perkara di kepolisian menjadi sejumlah faktor penyebab.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradilla Caesar mengatakan, selama ini polisi tak pernah menjelaskan secara gamblang perkara korupsi yang tengah ditangani. Bahkan banyak perkara yang akhirnya 'menggantung' tanpa kejelasan.

"Banyak perkara di kepolisian yang tidak jelas perkembangannya. Ini menjadi pertanyaan, apakah perkara korupsi di polisi nantinya bisa selesai," ujar Aradilla saat ditemui di kantor ICW, Jakarta, beberapa waktu lalu (27/7).
Dari data ICW, terdapat 140 kasus korupsi yang ditangani kepolisian pada tahun 2016 dengan nilai kerugian negara sebesar Rp337 miliar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari kasus tersebut, delapan di antaranya adalah kasus suap dan empat lainnya adalah kasus pemerasan. Namun belum jelas berapa jumlah perkara korupsi yang berhasil diselesaikan kepolisian.

Aradilla membandingkan dengan perkara korupsi yang ditangani kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun yang sama. Di kejaksaan terdapat 307 kasus korupsi, sementara 35 kasus korupsi ditangani oleh KPK. Perkara korupsi yang ditangani KPK, kata Aradilla, umumnya telah sampai pada tahap pelimpahan di pengadilan.

Dari segi anggaran, lanjutnya, polisi juga menghabiskan biaya paling besar untuk menangani perkara.
Untuk satu menyelesaikan satu perkara, menurut data ICW, polisi membutuhkan biaya senilai Rp208 juta. Sementara kejaksaan sebesar Rp200 juta dan KPK memiliki anggaran Rp12 miliar untuk proyeksi 85 perkara dengan alokasi biaya per perkara sebesar Rp141 juta.

Besarnya anggaran tersebut, menurut Aradilla, tak sebanding dengan efektivitas penyelesaian perkara di kepolisian.

Salah satu yang saat ini masih menggantung adalah perkara mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi program pembayaran paspor secara elektronik oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri tahun 2015.

Kasus itu hingga saat ini belum jelas ujungnya. Aradilla meyakini, wacana pembentukan densus ini pun sekadar transformasi dari Direktorat Tindak Pidana Korupsi yang saat ini ada di Bareskrim Mabes Polri.
Mengukur Keberhasilan Polisi Lewat Densus AntikorupsiKebijakan Kapolri membentuk Densus Antikorupsi mendapat sorotan dari sejumlah LSM. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi)
Motif Anggaran

Lebih jauh, Aradilla menilai, pembentukan densus antikorupsi hanya 'akal-akalan' untuk menambah anggaran bagi kepolisian. Pasalnya, selama ini kepolisian kerap mengeluhkan minimnya anggaran untuk penanganan kasus.

"Kenapa memaksa kewenangan perkara korupsi, padahal anggaran terbatas? Apa supaya dapat tambahan anggaran?" tuturnya.

Ia membandingkan dengan kinerja kepolisian di sejumlah negara yang tak menangani kasus korupsi maupun kejahatan keuangan. Umumnya, kata Aradilla, perkara korupsi akan ditangani oleh lembaga yang lebih tinggi.

"Sementara kepolisian kita dipaksa mencapai hal itu (perkara korupsi). Padahal kalau berkaca pada negara lain, polisi mereka tidak menangani perkara korupsi seperti ini," kata Aradilla.
Alih-alih terburu membentuk densus antikorupsi, Aradilla menyarankan perkara korupsi tetap fokus ditangani KPK. Selain itu, KPK juga bisa berbagi tugas dengan kejaksaan untuk menangani perkara korupsi di daerah.

"Solusi pemberantasan korupsi bukan dengan memperbanyak lembaga anti korupsi, tapi memastikan ada lembaga khusus yang kerjanya menangani korupsi,"

Jika memaksakan polisi menangani perkara korupsi, ia khawatir kewenangan tiap lembaga menjadi terlalu luas.

Menurutnya, ada sejumlah faktor yang mesti dipertimbangkan oleh kepolisian sebelum membentuk densus antikorupsi, di antaranya soal SDM, pengawasan kinerja polisi, hingga potensi penyelewengan.

"Jadi yang paling penting evaluasi terlebih dulu. Saya yakin (densus antikorupsi) ini tidak akan pernah efektif," ucapnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER