Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji formil dan materil atas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), Senin (7/8). Pemohon yang semula mengatasnamakan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berganti menjadi Ismail Yusanto sebagai perseorangan.
Alasan pergantian tersebut, permohonan diajukan saat HTI masih tercatat sebagai organisasi yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Namun, per tanggal 19 Juli 2017, Kemenkumham secara resmi mengeluarkan Surat Keputusan berisi pencabutan status badan hukum HTI dan pembubaran organisasi itu karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Ismail Yusanto merupakan juru bicara HTI saat organisasi tersebut belum dibubarkan Pemerintah. Kini, dirinya mengklaim sebagai anggota sekaligus Sekretaris Umum HTI.
Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum HTI mengatakan, pihaknya menyiasati hal tersebut terkait kemungkinan kedudukan hukum (legal standing) HTI yang akan dipertanyakan dengan melakukan pergantian pemohon.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nanti ujung-ujungnya argumentasi kami diterima tapi permohonan dinyatakan tidak dapat diterima karena organisasi sudah dibubarkan. Menghindari itu saja," katanya usai sidang.
Ismail yang juga hadir dalam sidang, merasa yakin permohonan perorangan tidak mengurangi bobot uji materi yang diajukan, dibanding permohonan sebelumnya yang mengatasnamakan HTI.
"Secara faktual, saya juga mewakili aspirasi HTI karena saya adalah warga negara yang dalam konstitusi memiliki hak berserikat, berkumpul, dan memyampaikan pendapat yang saya salurkan ke dalam HTI," ujarnya.
Ismail menambahkan, pihaknya saat ini masih terus melakukan dakwah sesuai nilai dan ajaran Islam meski tidak membawa nama HTI.
Dalam sidang, Yusril turut menajamkan aspek uji formil. Uji formil yang diajukan adalah prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya Perppu Ormas yang pihaknya anggap bertentangan dengan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 karena tidak ada ikhwal kegentingan yang memaksa memungkinkan Presiden mengeluarkan suatu perppu.
Pihak Yusril juga mempersoalkan tentang penghapusan kewenangan badan pengadilan untuk menilai suatu ormas yang dianggap menyebarkan paham bertentangan pancasila. Ia kembali menegaskan pentingnya kehadiran pihak ketiga untuk menilai apakah suatu organisasi bertentangan dengan nilai-nilai NKRI.
"Harus ada check and balances dari lembaga lain apakah bertentangan atau tidak. Harus ada pihak ketiga untuk menengahkan, yakni pengadilan. Tapi kini semuanya dielemenir oleh Perppu dan semuanya menjadi kewenangan Pemerintah," kata Yusril dalam sidang.
Hakim yang terdiri dari Aswanto, I Dewa Gede Palguna, dan Anwar Usman pun menerima perubahan permohonan dan akan melanjutkan sidang pleno pada jadwal yang akan ditentukan kemudian.
(djm/djm)