Jakarta, CNN Indonesia --
"Mar, aku berdarah! Tolong Mar, tolong, aku di dekat gedung Indosat.”Suara lewat sambungan telepon itu membuat Mariana Amiruddin panik. Mariana yang tengah ikut aksi damai peringatan hari Pancasila di kawasan Monas, Jakarta Pusat, bergegas meninggalkan kerumunan. Ia segera mendatangi Guntur Romli, pria yang tadi menghubunginya lewat sambungan telepon.
Hidungnya patah. Darah bercucuran di sekitar wajah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Guntur mengaku terkena pukulan bambu oleh sekelompok orang berjubah putih. Mariana bersama sejumlah teman aktivis langsung bergerak membawa Guntur menuju rumah sakit terdekat.
Sembilan tahun setelahnya, Mariana mengaku masih tak pernah menyangka, aksi damai pada 1 Juni 2008 itu akan berujung ricuh. Saat itu dirinya dan sejumlah aktivis dari berbagai kelompok yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) tengah bersiap membentuk barisan dan membuka spanduk untuk menggelar aksi damai.
“Waktu itu kondisinya lengang. Kami juga berpikir tidak ada apa-apa karena kebetulan hari Minggu, lagi ramai orang olahraga di Monas,” ujar Mariana mengenang kembali tragedi itu saat ditemui CNNIndonesia.com awal Agustus lalu.
Kala itu situasi yang kondusif, katanya, mendadak berubah ketika tiba-tiba muncul sebuah truk mengangkut sejumlah pemuda mengenakan jubah putih dan peci berwarna senada. Ada label Front Pembela Islam (FPI) dari pakaian yang mereka pakai.
“Mereka turun dari truk sambil bawa bambu ke dalam Monas. Sambil marah-marah mereka langsung pukulin orang-orang,” ujar Mariana.
Mariana hampir jadi korban jika tak berbalik melawan seorang remaja pria anggota FPI yang mengacungkan bambu ke arahnya. Remaja itu sempat terkejut melihat reaksi Mariana yang berani melawan.
 Monas menjadi saksi bisu peristiwa kekerasan pada 1 Juni 2008 lalu. Peristiwa itu dikenal dengan Insiden Monas. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ed/nz/14) |
“Aku tanya ke dia, ‘kamu ngapain, dek, di situ!?’. Dia enggak jadi mukul, padahal bambunya udah tiga centimeter di depan aku. Dia langsung lari ke arah lain,” tuturnya.
Kondisi saat itu cukup
chaos. Sebagian besar peserta aksi damai luka-luka karena dipukuli. Tak hanya kaum pria, menurut Mariana, ibu-ibu yang membawa anaknya pun tak luput jadi korban pemukulan.
Ia sendiri sempat kesal karena tak ada satu pun polisi yang berjaga saat peristiwa itu terjadi. Perempuan yang kini aktif di Komnas Perempuan ini pun langsung berinisiatif mencari polisi di sekitar lokasi kejadian.
“Aku sempat marah-marah sama polisi karena enggak ada yang jaga. Setelah itu baru polisi koordinasi dan 30 menit kemudian muncul. Tapi ya sudah banyak yang berdarah-darah,” katanya.
Pemberitaan soal peristiwa di Monas saat itu langsung ramai. Bahkan, menurut Mariana, sejumlah stasiun televisi menayangkan siaran langsung hingga berjam-jam.
“Aku enggak begitu tahu akhirnya bagaimana atau siapa saja yang ditangkapi karena
nolongin Guntur. Tapi pemberitaan di media massa saat itu memang luar biasa,” ucapnya.
Peristiwa itu kemudian dikenal dengan ‘Insiden Monas 2008’. Akibat peristiwa tersebut, para pentolan FPI seperti pemimpin Rizieq Shihab dan Munarman harus mendekam di bui.
Kemerdekaan BeribadahKenangan buruk lainnya juga diceritakan oleh pendeta Palti Panjaitan.
Saat itu dia bergerak menuju gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia pada suatu pagi di hari Minggu tahun 2012. Seperti hari Minggu biasanya, sebagai pendeta Palti mesti memimpin para jemaat yang rutin beribadah di gereja yang terletak di kawasan Tambun, Bekasi itu. Meski disegel, jemaat tetap beribadah di pelataran gereja.
Siapa sangka, niatnya untuk beribadah berujung petaka. Mendadak puluhan orang berjubah putih dengan label Front Pembela Islam (FPI) telah memenuhi pelataran gereja. Mereka menghadang para jemaat yang akan beribadah.
“Setiap Minggu selalu begitu, kami dilarang beribadah,” ujar Palti melalui sambungan telepon, Rabu (16/8).
Dalam setiap kesempatan itu, diakui Palti, tak jarang para jemaat harus menerima lemparan telur busuk hingga air comberan dalam perjalanan menuju gereja. Saat beribadah pun, kelompok FPI itu melakukan demo di dengan pengeras suara hingga mengganggu para jemaat yang tengah berdoa.
“Yang paling parah waktu malam natal, jemaat dihadang hingga harus dievakuasi ke Polsek Tambun,” katanya.
Ia bahkan ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menganiaya dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan terhadap seseorang bernama Abdul Aziz saat malam natal tersebut. Padahal saat itu dirinya hanya bermaksud membela diri karena akan diserang Abdul. Namun akhirnya Palti hanya dijerat dengan tindak pidana ringan.
 Sebagian jemaat HKBP Filadelfia kini kerap melakukan ibadah di seberang Istana Negara, Jakarta. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Sampai saat ini, lanjut Palti, belum ada kejelasan bagi para jemaat HKBP Filadelfia yang ingin beribadah. Mereka terpaksa melakukan kebaktian tiap dua minggu sekali bersama jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor yang mengalami nasib serupa di depan Istana Negara.
Tak hanya oleh kelompok ormas saja, Palti mengatakan diskriminasi terhadap ibadah mereka pun dilakukan pemerintah setempat. Gereja HKBP Filadelfia masih disegel Pemkab Bekasi sejak 2009 silam meski telah mengajukan izin sejak lama.
Pihaknya kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung atas penyegelan tersebut. Hasilnya pihak gereja HKBP menang atas gugatan tersebut.
Kemerdekaan SesungguhnyaNamun bukannya membuka izin pembangunan gereja, pemkab Bekasi justru mengajukan banding. Beruntung, hingga di tingkat Mahkamah Agung (MA), pihak HKBP Filadelfia tetap memenangkan gugatan tersebut. Artinya, Pemkab Bekasi harus mengeluarkan izin pembangunan gereja.
“Tapi nyatanya putusan pengadilan tidak dieksekusi. Gereja sampai sekarang tetap disegel dan nasib jemaat tak jelas,” ucap Palti.
Kini Palti tak lagi menjadi pimpinan gereja HKBP Filadelfia. Sejak beberapa tahun lalu, Palti pindah ke Yogyakarta untuk menempuh studi di Kota Pelajar itu. Namun ia mengaku masih berkomunikasi intensif dengan para jemaat gereja.
Palti meminta pemerintah dapat segera memberi kejelasan bagi para jemaat untuk beribadah. Seiring hari kemerdekaan Indonesia ke-72, Palti tentu berharap Presiden Joko Widodo memberikan kemerdekaan bagi warganya untuk beribadah.
Ia juga berharap pemerintah mematuhi hukum dengan menjalankan putusan pengadilan.
“Harapan saya ke Pak Jokowi berilah kemerdekaan yang sesungguhnya termasuk kemerdekaan beribadah, karena tugas utama pemerintah memang memastikan itu bagi warganya,” ucapnya.
Sembilan tahun berlalu pasca-insiden Monas 2008, FPI tak lepas dari berbagai kontroversi. Sejumlah aksi kekerasan masih berulang kali terjadi. Mulai dari pelarangan ibadah, razia tempat hiburan, penutupan paksa tempat makan di bulan puasa, hingga yang terbaru keterlibatan aksi bela Islam sejak tahun lalu.
Aksi yang terakhir memang cukup menarik perhatian. Berawal dari kasus penodaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, aksi berjilid pun dimulai.
Massa FPI tak pernah absen ikut dalam aksi yang diberi nama 411, 212, 313, dan 55. Mereka menuntut Ahok dihukum berat terkait kasus penodaan agama.
 Salah satu aksi 212 terkait dengan Pilkada DKI Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
FPI Masuk PolitikAkhirnya, Ahok memang telah dijatuhi vonis penjara oleh pengadilan Jakarta Utara, dan jabatannya digantikan Djarot Syaiful Hidayat yang sebelunnya wakil gubernur hingga periode kepemimpinan berakhir.
Entah kebetulan atau memang kenyataan, kasus yang menjerat Ahok berbarengan dengan gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI 2017. Pada Pilkada itu, Ahok sebagai petahana kembali maju bersama Djarot.
Dia berhadapan dengan dua kandidat lain yakni Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Ahok-Djarot maju ke putaran kedua melawan Anies-Sandiaga. Dan, Anies-Sandiaga lah yang keluar sebagai pasangan kepala daerah terpilih serta akan dilantik Oktober mendatang.
Kebetulan, pada masa kampanye, Anies-Sandi ikut mendekati kelompok-kelompok Islam termasuk mengunjungi markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat.
Meski masih harus dibuktikan, Mariana mengatakan dari fakta tersebut dirinya melihat perbedaan yang cukup mencolok antara FPI saat ini dengan masa lalu.
Menurutnya, FPI kini cenderung berpolitik. Bahkan organisasi massa pimpinan Rizieq Shihab itu tak ragu menyuarakan dukungannya pada salah satu calon dalam pilkada DKI. Sikap tersebut, kata Mariana, berubah drastis bila dibandingkan dengan kebiasaan FPI yang selama ini dianggap ‘keras’ pada apapun yang melanggar agama Islam.
“Kalau tindakan kekerasan kayaknya sudah enggak terlalu kelihatan. Mereka sekarang lebih ke politik,” katanya.
Mariana menuturkan, FPI kini justru menjadi semacam kendaraan politik yang digunakan untuk menyuarakan calon tertentu dalam pilkada. Di sisi lain, FPI juga menjadi pihak yang paling lantang menentang calon maupun kelompok lain.
“Mereka ini seperti termobilisasi untuk pro atau anti terhadap calon tertentu,” tuturnya.
Berbicara tentang hal tersebut, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani memiliki pandangan tersendiri.
Berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan lembaganya, Ismail mengatakan FPI adalah sebuah organisasi yang tak memiliki agenda ideologi dalam operasinya.
“Beda kalau punya agenda ideologis, dia [FPI] tidak akan terpengaruh dengan variabel-variabel dinamis. HTI [Hizbut Tahrir Indonesia] misalnya, mau ada variabel dinamis apapun tak terpengaruh. Tapi, kalau FPI itu dinamis: Pilkada ikut pilkada, Ramadan razia, dan macam-macam aksinya karena dia tidak punya agenda ideologis," katanya.
 Anggota FPI yang turut serta dalam aksi menolak Ahok dan meminta pengadilan menghukumnya terkait kasus penistaan agama. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama) |
Pemerintah Tak BernegosiasiIsmail mengatakan berdasarkan riset mula yang kemudian ditelurkan jadi buku
Wajah Para ‘Pembela Islam' (2010) pihaknya menemukan fakta bahwa FPI tidak memiliki afiliasi transnasional atau dengan kata lain itu adalah ormas khas lokal.
Namun, sambungnya, lewat riset mula itu pihaknya kembali mengingatkan pemerintah agar tak bernegosiasi dengan kelompok tersebut.
“Mungkin mereka tidak seberbahaya transnasional, tetapi mereka bisa berkolaborasi dalam tingkat praktis. Dan, itu terbukti pada 2016, mereka berkolaborasi kuat dan menyulitkan pemerintah. Sekarang kan dari
list organisasi yang mau dibubarkan di dalamnya ada organisasi lokal, termasuk FPI. Padahal, sebenarnya kan FPI itu pro-Pancasila, cuma pro-kekerasan,” kata Ismail.
Sementara itu, Mariana mengharapkan pemerintah tegas dalam melakukan tindakan ketika ada organisasi massa, termasuk FPI, yang melanggar aturan Indonesia dan melakukan kekerasan.
“Ke depan pasti masih ada aksi-aksi seperti itu, ya karena memang dipelihara negara. Dari dulu juga
didiemin saja kok. Selama negara masih menganggap itu hal biasa, ya terulang terus,” keluh Mariana.