Modifikasi Perilaku Napi Koruptor via Remisi Hari Kemerdekaan

CNN Indonesia
Jumat, 18 Agu 2017 17:42 WIB
Remisi napi koruptor menuai polemik. Bagi Kemenkumham remisi pada hari kemerdekaan itu merupakan salah satu bentuk modifikasi perilaku napi.
Muhammad Nazaruddin, salah satu yang yang mendapatkan remisi napi koruptor pada perayaan HUT ke-72 RI. (Foto: ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Akbar Hadi memaparkan, harus dibedakan antara dijerakan atau memberikan efek jera dengan pembinaan yang dilakukan Lapas. Efek jera melekat pada aspek pidana.

Artinya, ketika seseorang divonis hakim, hukum telah diberlakukan sehingga ada aspek keadilan. “Di situ artinya penjeraan diterapkan. Rumahnya disita, badannya ditahan, asetnya diblokir,” ucapnya.

Jika seseorang melakukan upaya hukum lain, seperti banding, juga masih dalam konteks efek jera. “Kalau mereka tidak jera mungkin dari situ,” ucapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan, ketika jaksa melakukan ekskusi seseorang ke Lapas atau telah berkekuatan hukum tetap, maka otomatis tanggung jawab sudah beralih. “Hakim menghukum, kita membina. Kita bina bukan dihukum lagi. Jadi yang berlaku adalah pembinaan, karena pada akhirnya mereka akan kembali ke masyarakat,” bebernya.

Konsep pembinaan, Akbar Hadi mengungkapkan, adalah bagaimana mengembalikan seseorang menjadi lebih baik lagi ketika nantinya bebas atau usai menjalani hukuman.

Mengenai desakan berbagai pihak agar Kemenkum HAM tidak memberikan remisi kepada para koruptor, ia pun penolaknya. Selain sudah diatur dalam UU, pemberian remisi tersebut juga merupakan bagian dari sistem pembinaan.

“Sistem penjara, dijerakan dengan berbagai macama cara seperti sarana prasana. Dengan sistem pemasyarakatan, tidak dijerakan tapi dibinakan, agar bisa kembali masyarakat, agar berguna bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat,” katanya menjelaskan.

Ia mengungkapkan, konsep pemidaan Indoneisa sudah beralih dari pemenjaraan ke pemasyarakatan. Proses itu telah terjadi sejak 1964. Jika Kemenkum HAM mengikuti desakan berbagai pihak soal remisi, maka Indonesia akan kembali ke zaman Belanda atau abad pertengahan.

“Sistem dan konsep perlakuan terhadap napi sekarang jadi lebih humanis, lebih menambah kepercayaan diri, baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat nantinya,” katanya menegaskan.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Ester menilai, alasan Kemenkumham menghemat anggaran dengan memberi remisi bagi narapidana korupsi tak masuk akal. Pemerintah mengklaim Pemberian remisi bisa menghemat anggaran hingga sekitar Rp102 miliar.

Lalola menyadari permasalahan lembaga permasyarakatan maupun rumah tahanan saat ini adalah over capacity atau kelebihan kapasitas. Namun menurutnya hal itu tak lantas membuat pemberintah memberikan remisi hanya untuk menghemat anggaran.

“Remisi harusnya bukan jadi sarana untuk menghemat anggaran. Ada cara lain tanpa harus diskon besar-besaran untuk terpidana, apalagi korupsi,” ujar Lalola kepada CNNIndonesia.com, Jumat (18/8).

Penolakan tersebut, terkait remisi yang didapat dua terpidana kasus korupsi. Yakni, mantan PNS Ditjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

"Jadi ini, kalau yang "menonjol" ada Nazaruddin ini remisi lima bulan, kalau Gayus enam bulan," kata Plt Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Ma'mun di gedung Kemenkumham Jakarta, Kamis (17/8), seperti dilansir dari Antara.

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER