Saracen Vs Propaganda Pemerintah

Martahan Sohuturon | CNN Indonesia
Selasa, 29 Agu 2017 08:30 WIB
Polisi dituntut berani menindak produsen hoax yang bergerilya menguntungkan pemerintah dengan cara mendiskreditkan pihak tertentu.
Ilustrasi. (Thinkstock/flyparade)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rangkaian penangkapan yang dilakukan penyidik kepolisian sejak akhir 2016 menunjukkan benang merah pada keberadaan kelompok penyebar konten ujaran kebencian dan bernuansa suku, agama, dan antargolongan (SARA) di media sosial. Mereka menamakan diri Saracen.

Kelompok ini tersebar di berbagai daerah. Mereka yang terciduk adalah RK di Jakarta, RY (36) di Bukittinggi, LMFT (43) di Jakarta Utara, SRN (32) di Cianjur, dan JAS (32) di Pekanbaru.

Kelompok ini diduga mengeruk keuntungan dengan cara memprovokasi berita-berita bohong (hoax) yang diproduksi secara terus menerus sesuai pesanan. Mereka menyebarkan konten-konten yang mengandung ujaran kebencian dan bernuansa SARA.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saracen punya sekitar 800 ribu akun di media sosial. Saracen pun menerima pesanan untuk menyebarkan konten ujaran kebencian dan bernuansa SARA dengan tarif belasan hingga puluhan juta rupiah.
Aktivitas Saracen ini dianggap telah mendeskriditkan Pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dua dari kelima tersangka, yakni RY dan SRN, merupakan sosok yang melakukan penghinaan terhadap Presiden di media sosial.

Menyikapi fenomena ini, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak meminta aparat kepolisian bersikap adil dalam memberantas peredaran berita hoax di media sosial. Menurutnya, polisi harus berani menindak seluruh penyebar berita hoax, baik yang mengkritik maupun menguntungkan citra pemerintah.

"Jangan sampai yang dimaknai sebagai hoax adalah berita bohong yang terkait dan merugikan pemerintah atau penguasa. Tapi kemudian produsen hoax atau pihak yang memproduksi hoax yang untungkan pemerintah itu dibiarkan," kata Dahnil saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, kemarin (28/8).

"Saya harap ada komitmen dari polisi untuk berantas hoax ini harus adil," katanya menambahkan.
Menurut Dahnil, kelompok yang mengelola dan memproduksi berita hoax adalah pekerjaan paling hina dan tidak beretika yang mengancam masa depan Indonesia. Jika produsen hoax dibiarkan terus memproduksi kebohongan, ujar dia, maka akan melahirkan karakter masyarakat yang mengabaikan etika dalam kehidupan sosial dan politik

Aparat kepolisian diminta berani menindak para penyebar berita hoax atau akun-akun media sosial lainnya yang menguntungkan pemerintah lewat propaganda mendiskreditkan pihak tertentu.

"Saya lihat sikap polisi selama ini hanya bertindak keras terhadap mereka yang menebar informasi yang merugikan pemerintah, kalau menguntungkan tidak ada sikap terang. Ini berbahaya dan hal serius, apalagi kalau penegak hukum tidak adil," tuturnya.
Saracen dan Hoax yang Untungkan PemerintahBarang bukti Saracen. (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon)

Membedakan Ujaran Kebencian

Dihubungi terpisah, pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia Ade Armando menjelaskan bahwa hoax adalah upaya sengaja membohongi publik.

Menurutnya, ada dua hal yang menjadi pelanggaran dalam kasus Saracen, yakni kebohongan dengan menyajikan informasi seolah faktual dan menyajikan kebencian dengan melontarkan caci maki alias ujaran kebencian.

Dia berpendapat, hal ini berbeda dengan media seperti Seword, misalnya. Ade menuturkan, Seword selalu menampilkan nama penulis yang bertanggung jawab dalam setiap artikel.

"Kalau media yang sajikan tulisan beropini, tulisan Seword selalu ada penulisnya. Jadi orang ini mempertanggungjawabkan apa yang dia tulis. Seword cukup jaga jangan sampai isinya bohong," ucapnya.
Ade mengatakan, hal ini tidak disajikan oleh Saracen yang menampilkan sepotong informasi untuk membohongi publik. Menurutnya, Saracen tidak menuliskan opini dan tidak berargumentasi dalam setiap artikel yang diunggah.

Media-media opini, kata Ade, masih dalam kategori yang dapat dilindungi oleh konsitusi, dalam hal ini hak kebebasan berekspresi.

"Misalnya dengan mengatakan bahwa pemerintah tidak bekerja dengan baik atau misalnya mengatakan pemerintah hanya mengandalkan dengan utang sehingga nanti (rakyat) harus membayarnya, itu kebencian juga tapi bukan ujaran kebencian. Kata-kata itu dilindungi secara konstitusional, justru harus dibela orang-orang yang ungkap itu," kata Ade.
Dosen di Universitas Indonesia itu menilai tepat langkah polisi menangkap pengelola grup Saracen. Menurutnya, Saracen telah menyebarkan konten ujaran kebencian dan bernuansa SARA.

Ade menuturkan, hal tersebut akan memberikan pelanjaran kepada masyarakat untuk mengetahui perbedaan antara konten yang masuk dalam kategori pidana dan benar secara konstitusi.

Konten harus dijelaskan sehingga masyarakat bisa membedakan apa bedanya itu misalnya dengan media islam lain, ada VOA Islam dan berbagai lainnya yang dilihat orang bermasalah, padahal isinya tetap dapat dibenarkan secara konstitusional tutur Ade. (gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER