Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyerahkan dua ekor kuda kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Direktur Gratifikasi KPK, Giri Supriardiono, mengatakan dua ekor kuda berjenis Sandalwood itu berasal dari Sumba, NTT.
"Bapak Presiden Jokowi melaporkan dua buah kuda dari Nusa Tenggara nilainya Rp170 juta diberikan oleh masyarakat sana," kata Giri di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (30/8).
Giri mengatakan Jokowi melaporkan kuda-kuda itu ke KPK, karena merasa tak enak andai mengembalikan langsung ke masyarakat yang memberi. Rencananya, kata Giri, kuda-kuda itu bakal dijadikan milik negara. Lebih lanjut, Giri mengatakan pihaknya saat ini masih menunggu tanda tangan pimpinan KPK untuk menunggu keputusan agar kuda tersebut bisa menjadi milik negara.
Untuk keputusan menjadi milik negara, saat ini masih menunggu tanda tangan pimpinan KPK untuk menunggu keputusan apakah kuda ini bisa menjadi milik negara. Selain itu, pihaknya juga tengah memikirkan bakal menempatkan kuda tersebut di mana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi karena kuda ini nggak bisa kami simpan dan nggak bisa dilelang di sini, karena membutuhkan biaya pemeliharaan," ujar Giri.
Giri mengatakan, kuda oleh Jokowi diserahkan karena dikhawatirkan sebagai bentuk gratifikasi. Penyerahan ini menjadi contoh dalam mengelola benda-benda yang tergolong gratifikasi. Menurut dia, sebelum menyimpan benda-benda gratifikasi, pihaknya perlu melakukan verifikasi lebih dulu.
Museum Gratifikasi
Terkait fungsi pendidikan dari pihaknya sebagai lembaga pemberantasan korupsi , Giri mengatakan ada pertimbangan untuk membangun sebuah Museum Gratifikasi. Tempat itu nantinya bakal menjadi tempat KPK menyimpan barang-barang yag dilaporkan kepada para penyelenggara negara.
“Pengin ada museum gratifikasi biar masyarakat bisa belajar," kata Giri.
Terkait barang-barang yang dilaporkan ke KPK karena disinyalir sebagai gratifikasi, Giri mengatakan dari segi jumlah tak ada perubahan berarti dari tahun ke tahun. Namun, dalam hal kualitas dinilai semakin besar. Berdasarkan data Direktorat Gratifikasi KPK, nilai laporan gratifikasi dari tahun 2015 sampai per Juli 2017 terus meningkat.
Pada 2015 gratifikasi dalam bentuk uang Rp2,7 miliar, barang Rp4,6 miliar, dengan total Rp7,3 miliar. Kemudian 2016, gratifikasi berbentuk uang Rp13,5 miliar, barang Rp992 juta, dengan total Rp14,5 miliar. Sementara untuk 2017 per Juli, gratifikasi bentuk uang mencapai Rp3,4 miliar, barang Rp109 miliar, dengan total Rp112,4 miliar.
"Yang selama ini menganggap nilai besar dia nggak minta dianggapnya sah atau tidak dianggap pidana. Sekarang mereka menganggap bahwa itu adalah pidana," tutur Giri.
Giri menambahkan, pihaknya tengah menyusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengendalian Gratifikasi. Menurut Giri, aturan tersebut masih dalam tahap harmonisasi.
"PP tersebut sekarang masih dalam tahap harmonisasi, jadi draft yang sudah disepakati itu kami cek bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lain," ujarnya.
Penyusunan naskah akademik PP tersebut sudah selesai, dengan melibatkan puluhan akademisi dari sejumlah perguruan tinggi. Selain itu draft PP tentang Pengendalian Gratifikasi itu juga sudah dibahas dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkuham) sebanyak enam kali termasuk konsinyering sebanyak dua kali.
"Tahapan tersebut sudah dilakukan sejak tahun lalu," ucapnya.
Giri pun berharap aturan baru tentang gratifikasi itu bisa segera rampung dan ditandatangani Jokowi pada November 2017. Giri menjelaskan sejumlah poin yang ada di dalam PP tersebut di antaranya, soal batasan gratifikasi, pengaturan dan kewajiban membangun unit pengendali gratifikasi, perlindungan pelapor.
Kemudian kewajiban menolak gratifikasi, mengatur pelaporan gratifikasi, peran serta masyarakat dan swasta, soal sanksi serta daftar ketidakpatuhan pengendalian gratifikasi.