Jakarta, CNN Indonesia -- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Perhutani dianggap dapat merugikan masyarakat dan lingkungan area terdampak.
Hal tersebut menjadi dasar diajukannya uji materi atas aturan tersebut kemarin oleh Kelompok Masyarakat Pecinta Lingkungan dan Hutan Lestari Pulau Jawa.
Terbitnya Permen LHK Nomor 39 membuka kesempatan bagi Perhutani untuk memberi izin pengelolaan kawasan mereka ke pihak luar. Izin tersebut ditakutkan diselewengkan implementasinya.
Menurut Tenaga Pendamping Masyarakat dari LSM Lodaya Nace Permana, ada kepentingan politik dan bisnis yang dimiliki pemerintah dalam, Permen LHK Nomor 39 Tahun 2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena ini rata-rata yang jadi program perhutani adalah daerah yang sangat berpotensi, baik pertanian atau bisnis. Contoh di Karawang, yang kena berdempetan dengan kawasan industri dan bandara macam-macam," kata Nace di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta.
Nace menduga ada potensi pengusaha ikut mengelola kawasan perhutani dan mengubah peruntukan lahan. Berubahnya penggunaan lahan tertentu ditakutkan berdampak pada terjadinya bencana alam seperti erosi, banjir, atau tanah longsor.
"Padahal di lokasi yang kita ketahui banyak yang sangat rawan terhadap bencana. Seperti di Jawa barat itu di (Gunung) Rakutan kan Hulu Citarum, kalau ditanami sayuran ini akan berakibat pada tanah longsor, banjir, dan lain-lain," katanya.
Permen LHK Nomor 39 dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, serta UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara.
"Ada pasal yang menyebutkan bahwa 'Perhutanan Sosial dapat diberikan pada wilayah tegakan hutan kurang dari 10% secara terus menerus dalam kurun waktu lima tahun atau lebih. Ketentuan ini kurang memperhatikan karakteristik spesifik lingkungan biofisik wilayah yang secara alamiah berbeda-beda," tuturnya.