Jakarta, CNN Indonesia -- Ahli hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Noor Aziz Said menilai tak ada pengaruh atau tekanan dari penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap politikus Hanura Miryam S Haryani terkait pemeriksaan kasus korupsi proyek e-KTP.
Pendapat itu disampaikan Noor Aziz berdasarkan fakta persidangan dari keterangan penyidik yang sempat menawarkan pada Miryam untuk memeriksa ulang keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebelum ditandatangani.
"Penyidik tidak merasa memaksa kepada terperiksa (Miryam). Penyidik juga menawarkan, barangkali ada yang keliru sebelum tanda tangan," ujar Noor Aziz saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang kasus memberikan keterangan tidak benar dengan terdakwa Miryam di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (11/9).
Miryam didakwa memberikan keterangan tidak benar saat bersaksi dalam sidang kasus korupsi proyek e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto pada Maret 2017. Mantan anggota Komisi II DPR itu juga mencabut seluruh keterangannya dalam BAP karena mengaku ditekan penyidik KPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Noor Aziz mengatakan, pencabutan BAP terjadi karena Miryam berada di bawah pengaruh sesuatu atau orang lain sehingga membuatnya harus menuruti. Namun ia meyakini pengaruh itu bukan berasal dari penyidik.
 Pakar hukum pidana Noor Aziz tak menilai Miryam S Haryani tak mendapat tekanan dari penyidik KPK. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan) |
Dalam konteks hukum, perbuatan Miryam bisa jadi termasuk bentuk daya paksa seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 48 KUHP menjelaskan bahwa 'orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana'.
Menurut Noor Aziz, kasus Miryam tak memenuhi unsur daya paksa. Sebab, apabila benar mendapatkan pengaruh atau tekanan dari penyidik, Miryam mestinya masih dapat melakukan perlawanan. Oleh karena itu, Noor Aziz menilai perbuatan Miryam tetap dapat dipidana karena telah memenuhi unsur memberikan keterangan tidak benar seperti dalam pasal 22 UU Tipikor.
"Terdakwa sengaja, menghendaki, dan mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang," katanya.
Noor Aziz menjelaskan, unsur-unsur pada pasal 22 UU Tipikor yang didakwakan kepada Miryam mengacu pada ketentuan pasal 242 KUHP.
Dalam pasal 242 KUHP menjelaskan bahwa pemberian keterangan harus dilakukan di atas sumpah, pemberian keterangan harus diwajibkan menurut UU atau peraturan yang menentukan akibat hukum, pemberian keterangan disebut palsu jika tidak sesuai dengan apa yang diucapkan, dan pemberi keterangan mengetahui apa yang diucapkan tidak sesuai kenyataan.
"Kalau sudah memenuhi unsur dalam pasal 242 KUHP maka jadilah memenuhi unsur yang ada dalam pasal 22 UU Tipikor," tutur Noor Aziz.
Saksi, lanjut Noor Aziz, memang dapat mencabut keterangan BAP di muka persidangan, namun harus dengan alasan yang sah. Salah satunya jika saksi tidak disumpah saat memberikan keterangan dalam proses pemeriksaan oleh penyidik.
Miryam mencabut seluruh keterangan dalam BAP saat bersaksi dalam sidang kasus korupsi proyek e-KTP pada 23 Maret 2017. Ia mengaku mendapat tekanan dari tiga penyidik KPK saat proses pemeriksaan yakni Ambarita Damanik, Irwan Santosa, dan Novel Baswedan.
Saat dikonfrontasi di muka persidangan, ketiga penyidik membantah menekan Miryam. Novel saat itu menegaskan tak ada ancaman maupun intervensi saat memeriksa Miryam. Bahkan pemeriksaan dilakukan dengan kondisi santai dan terbuka.