Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah berpendapat Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (P3A/Penodaan Agama) tidak menghalangi penganut Ahmadiyah untuk beribadah. UU itu juga dinilai tidak mengekang kebebasan beragama.
Hal itu disampaikan Koordinator pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Mia Amiyati, yang mewakili pemerintah dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (26/9). Undang-Undang Penodaan Agama dinilai masih diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi umat beragama.
Sejumlah penganut Ahmadiyah mengajukan uji materi UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama ke MK. Mereka merasa dirugikan dengan ketentuan dalam pasal 1, 2, dan 3 UU Penodaan Agama. UU itu mengatur tentang pelarangan bagi orang yang sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk menafsirkan sesuatu agama di Indonesia, atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketentuan ini, membuat para pemohon tak bisa beribadah dan berujung penyegelan tempat ibadah. Mereka beralasan, aturan tersebut multitafsir sehingga membuat pemohon terancam tak bisa beribadah.
"Alasan pemohon sangat kontradiktif dengan kenyataan di masyarakat di mana warga Indonesia yang terbesar beragama Islam dan dalam menjalankan ibadahnya tidak pernah terganggu dengan aturan tersebut," ujar Mia di MK, Selasa (26/9).
Menurut Mia, kerugian yang paling dirasakan dalam kasus penodaan agama justru dialami umat beragama yang pokok ajarannya disalahgunakan atau dinodai, dalam hal ini adalah umat Islam.
Oleh karena itu, alasan pemohon yang merasa terhalangi untuk beribadah bukan termasuk kerugian konstitusional melainkan lebih terkait implementasi berlakunya UU tersebut.
"Jadi bukan sebaliknya bahwa kerugian itu diderita pihak-pihak yang melakukan penyimpangan," katanya.
(ugo)