Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai keberadaan hak angket DPR terhadap lembaga yang dipimpinnya itu bisa menjadi preseden buruk bagi lembaga penegak hukum lainnya. Ia khawatir hak angket DPR membuka lebar peluang bagi kekuasaan politik untuk mencampuri urusan penegakan hukum di Indonesia.
Dia mencontohkan upaya Pansus yang belakangan dinilai banyak pihak makin gencar melemahkan KPK.
"Kami meyakini jika penggunaan hak angket DPR terhadap KPK tidak dihentikan, peristiwa ini bisa jadi pintu masuk kekuasaan politik untuk mencampuri kerja-kerja penegakan hukum di Indonesia," ujar Laode saat memberikan keterangan sebagai pihak terkait dalam uji materi hak angket di gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (28/9).
Laode mengatakan, kewenangan DPR untuk mengajukan hak angket kepada lembaga penegak hukum semacam KPK dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakadilan. Dengan kewenangan tersebut, menurut Laode, kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, termasuk MK pun bisa diangket.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hari ini kebetulan KPK yang diangket, tapi besok bisa jadi penegak hukum lain seperti MA, MK, kejaksaan, dan kepolisian dihadapkan pada posisi yang sama," katanya.
Menurut Laode, lembaga-lembaga tersebut hanya bisa diangket di luar ranah penegakan hukum. Dalam proses penegakan hukum di seluruh dunia pun, telah ada norma umum yang mengatur bahwa tak ada proses hukum yang boleh terintegrasi dengan proses politik.
"Misal soal manajemennya, keuangannya itu boleh. Tapi kalau polisi atau jaksa menetapkan tersangka itu tidak bisa jadi objek angket," imbuh Laode.
Sementara terkait Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK, Laode menjelaskan, berawal dari penolakan lembaga anti rasuah terhadap permintaam Komisi III untuk membuka rekaman video tersangka Miryam S Haryani terkait penyebutan sejumlah nama anggota dewan dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
Laode menilai, permintaan itu jika dituruti akan melanggar prinsip
integrated criminal justice system, karena alat bukti berupa rekaman hanya bisa dibuka selama proses penegakan hukum. Di sisi lain, pihaknya juga khawatir pembukaan rekaman itu akan berpotensi pada konflik kepentingan karena ada sejumlah nama anggota dewan dalam rekaman tersebut.
"KPK punya hak kuat menolak membuka rekaman. Jika dipenuhi maka seluruh kasus yang ditangani KPK menyangkut DPR berpotensi dilakukan hal yang sama sebelum penegakan hukum dilakukan," ujar dia.
Kendati demikian, Laode tetap akan menghormati berbagai proses politik yang ada di DPR. Namun ia menegaskan proses tersebut tak akan menghalangi KPK untuk mengusut kasus-kasus korupsi.
"Tidak boleh berhenti atau stop pemberantasan korupsi. Kami tetap jalan saja," ucapnya.
Adapun gugatan uji materi ini diajukan oleh empat pemohon, yakni mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Para pemohon mengajukan uji materi Pasal 79 ayat (3), Pasal 199 ayat (3), dan Pasal 201 ayat (2) UU MD3.