Jakarta, CNN Indonesia -- Sekelompok orang yang menamai dirinya Koalisi Masyarakat Sipil mendatangi Gedung KPK, Jakarta, Kamis (29/9). Tujuan mereka satu yakni mendukung lembaga antirasuah tersebut dalam kaitan Pansus Angket DPR.
Salah satu bagian dari koalisi itu, Harbrinderjit Singh Dillon berharap Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengambil sikap sebagai kepala negara dalam merespon polemik Pansus Hak Angket DPR atas KPK. Sejauh ini, mantan Direktur Kemitraan (Partnership) itu menilai Jokowi hanya memosisikan diri sebagai kepala pemerintahan atau eksekutif dalam polemik ini.
"Perlu diingatkan ke Jokowi dia bukan hanya kepala pemerintahan. Kalau beliau katakan ini ranah legislatif, dia tempatkan dirinya sebagai ke kepala pemerintahan. Dia punya peran sebagai kepala negara," kata Dillon di Gedung KPK, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi yang kita minta dia sebagai kepala negara, harus berpihak pada republik, harus berpihak pada rakyat, harus berpijak pada masa depan. Jadi enggak bisa dia katakan kalau itu bukan ranah dia."
Selain Dillon, hadir pula mantan pimpinan KPK yaitu Chandra M Hamzah dan Erry Riyana Hardjapamekas.
 Joko Widodo. (Biro Pers Setpres/Kris) |
Pansus angket KPK telah memberikan laporan meski masih bersifat sementara ke Paripurna DPR, Rabu (27/9). Usai itu pun pansus angket itu disetujui untuk diperpanjang masa kerjanya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Susanto Ginting mengatakan keberadaan Pansus Angket KPK sudah cacat hukum dari awal pembentukan, kembali cacat terkait penambahan masa kerja.
Miko merujuk aturan pada UU MD3 di mana pada Pasal 206 dituliskan masa kerja Pansus Angket hanya 60 hari setelah pembentukan. Aturan itu, lanjutnya, jelas tidak memberikan ruang untuk DPR memperpanjang masa tugas Pansus Angket.
"Jadi bagi kami, ini pelanggaran hukum kesekian yang dilakukan pansus hak angket KPK," ujarnya.
Selain itu, kata Miko, legitimasi pengambilan keputusan perpanjangan masa kerja Pansus Angket KPK dalam Paripurna DPR kemarin tidak kuat. Pasalnya, Paripurna DPR hanya dihadiri 75 anggota dewan, ditambah tiga fraksi walk out dan satu fraksi menyampaikan ketidaksetujuannya dengan perpanjangan masa kerja tersebut.
"Jadi dari sisi legitimasi pengambilan keputusan juga sangat bermasalah, itu dalam konteks perpanjangan masa kerja pansus," tuturnya.
Ketua Pemuda Muhammadiyah Duga Kepolisian TerlibatSementara itu, di tempat terpisah, Ketua Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak menduga ada 'posko-posko' dukungan dari pihak kepolisian yang diberikan kepada Pansus angket KPK.
Posko ini pun menurut dia khusus dibuat guna menyuplai data dan saksi kepada pansus angket untuk memudahkan rencana pansus memutilasi lembaga Antirasuah itu.
"Saya duga ada posko-posko khusus, dimana anggota polisi dimasukan untuk menyuplai indormasi sebagai bentuk upaya lemahkan KPK," kata Dahnil di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (28/9).
Misalnya, kata Dahnil beberapa waktu lalu Direktur Penyidik KPK, Aris Budiman dengan leluasa datang memenuhi Undangan Pansus angket. Aris pun memberikan sejumlah informasi kepada pihak pansus terkait hal-hal yang terjadi di tubuh internal KPK.
"Kita berharap Kapolri menjawab ini, betul enggak ada upaya pelemahan KPK melalui kepolisian," kata Dahnil.
Selain itu, Dahnil pun menduga perpecahan di internal KPK antara penyidik Polri dan bukan Polri sebagai persekongkolan yang sengaja dibangun untuk melemahkan lembaga itu.
"Dugaan-dugaan itu juga sebenarnya yang kita rasakan dan kita lihat. Ditambah lagi ada fakta adu domba di dalam KPK. Kita harus buktikan lebih lanjut," katanya.