Jakarta, CNN Indonesia -- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), mencatat ada beberapa kejanggalan yang terjadi selama sidang praperadilan dengan tersangka kasus korupsi KTP Elektronik, Setya Novanto.
"Sebagaimana pertanyaan mengenai substansi putusan, kejanggalan dari sisi proses turut menguatkan bahwa jalannya Praperadilan ini tidak dalam kondisi ideal," tulis Peneliti PSHK Miko Ginting, dalam keterangan persnya, Sabtu (30/9).
Menurutnya, terdapat dua kejanggalan yang dilihat. Pertama, hakim mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan belum tercatat dalam sistem administrasi registrasi perkara. Kedua, penasehat hukum Setnov yang membawa sejumlah bukti dari Pansus Hak Angket, seharusnya dapat menjadi ruang untuk mengevaluasi putusan Praperadilan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang, kata Miko, Peraturan Mahkamah Agung (MA) No. 4 Tahun 2016 menyatakan bahwa putusan Praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Namun, peraturan yang sama memberi ruang bagi MA untuk melakukan pengawasan terhadap putusan praperadilan.
Begitu juga Komisi Yudisial (KY) yang juga dapat melakukan evaluasi dari sisi perilaku dan etik hakim. Oleh karena itu, MA dan KY seharusnya memberikan respons terhadap putusan Praperadilan ini.
Selain itu dari sisi substansi, salah satu pertimbangan yang mencolok adalah saat hakim menyatakan bukti untuk menetapkan Setnov sebagai tersangka tidak sah karena muncul dan digunakan dalam perkara lain.
Pertimbangan ini dinilai bermasalah karena mengasumsikan satu bukti hanya berlaku untuk satu orang dan perbuatan saja. "Apabila logika ini digunakan, maka tidak ada pengusutan perkara tindak pidana korupsi yang berdasar pada pengembangan kasus lain,"
Sementara, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Setnov tidak sah karena dilakukan pada awal penyidikan. Hal tersebut menurut hakim menyimpangi Pasal 44 UU KPK.
Padahal jika dirunut, penetapan tersangka dilakukan melalui pengembangan kasus yang kesimpulannya adalah telah diperoleh minimum dua alat bukti yang sah untuk menetapkan Ketua Umum Partai Golkar itu sebagai tersangka.
"Oleh karenanya, KPK sah saja menetapkan SN sebagai tersangka sepanjang memiliki kecukupan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti sah," kata Miko.
Pada dasarnya, lanjut dia, keterangan praperadilan Setnov bukan merupakan pemeriksaan pokok perkara. Sidang dilakukan untuk menguji apakah penetapan tersangka terhadap dirinya sah atau tidak.
Hakim dalam konteks ini menurut Perma No. 4 Tahun 2016 hanya menguji "aspek formil" dari minimal dua alat bukti yang sah yang dimiliki. Penentuan bersalah atau tidaknya Setnov akan dilakukan pada pemeriksaan pokok perkara.
Artinya, putusan Praperadilan ini tidak menggugurkan dugaan bahwa telah terjadi tindak pidana. Karenanya, peluang bagi KPK untuk kembali menetapkan Ketua DPR itu dalam statusnya sebagai tersangka masih sangat terbuka.
Hal itu lantaran telah dinyatakan dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan MA No. 4 Tahun 2016. Yang mana isinya, sepanjang KPK masih memiliki sedikitnya dua alat bukti yang dinyatakan sah.
"Apabila KPK menetapkan SN kembali sebagai tersangka, seharusnya KPK segera merampungkan pemeriksaan dan melimpahkan perkara tersebut untuk segera disidangkan," tutup Miko.