Setya Novanto di Balik Menurunnya Elektabilitas Golkar

CNN Indonesia
Rabu, 04 Okt 2017 10:50 WIB
Golkar memerlukan pembaruan jika tak ingin jadi partai kecil akibat kasus korupsi. Sayangnya, belum ada sosok yang bisa mengangkat partai.
Setya Novanto disebut sebagai sosok yang menyebabkan menurunnya elektabilitas Partai Golkar. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rapat Tim Kajian Elektabilitas Dewan Pimpinan Pusat Golkar memutuskan untuk meminta Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto alias Setnov agar lengser dari jabatannya. Keputusan itu diambil lantaran turunnya tingkat keterpilihan atau elektabilitas Beringin yang diduga akibat dugaan keterlibatan Novanto dalam kasus korupsi proyek e-KTP.

Internal Golkar terpecah melihat keputusan itu. Menurut Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono Tim Kajian Elektabilitas bukanlah representasi DPP Partai Golkar.

Di sisi lain, berdasarkan data Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 12 September 2017, persentase elektabilitas Golkar sebesar 10,9 persen, atau turun drastis dari hasil Pemilu 2014 ketika Golkar meraih 14,1 persen suara.
Trend penurunan juga terbaca dari hasil survei Kompas pada Mei 2017 yang mencatat elektabilitas Golkar ada di angka 7,1 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peneliti Populi Center Rafif Pamenang Imawan membenarkan jika Setya Novanto menjadi kambing hitam di balik turunnya elektabilitas Golkar itu. Sejumlah kasus yang sempat menerpa Novanto, terutama kasus e-KTP, menjadi pemicu paling utama.

Golkar diyakininya tidak akan meraih suara besar di Pemilu tingkat manapun jika Setya Novanto tetap menjabat Ketua Umum.

DPP Partai Golkar, lanjutnya, harus mengambil sikap tegas untuk mempertahankan elektabilitas agar tidak terdepak dari jajaran partai elit. 

“Jadi, mau tidak mau kalau Golkar ingin mengembalikan elektabilitasnya ya harus ada sosok lain yang menggantikan Setnov,” ujar Rafif kepada CNNIndonesia.com, Selasa (3/10).

Risiko lain jika mempertahankan Setnov sebagai Ketum adalah timbulnya faksi-faksi di internal Golkar. Keberadaan faksi itu bisa menghambat konsolidasi politik, terutama untuk menghadapi Pilkada 2018 dan Pemilu serentak 2019.

Tiru Megawati

Rafif juga menyarankan Golkar, terutama Setya Novanto,  mencontoh sikap Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat memutuskan tidak mencalonkan diri sebagai Presiden pada Pemilu 2014.

Sikap legowo Megawati memberi jalan kepada Joko Widodo dinilai Rafif sebagai salah satu faktor tingginya elektabilitas PDI Perjuangan.

Pengalaman PDI Perjuangan itu bisa saja dialami Golkar jika Setya Novanto mencontoh langkah politik Megawati pada Pilpres 2014 lalu.

Setnov Harus Tiru MegawatiKetua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri disebut memilih keputusan tepat saat tidak maju di Pilpres 2014. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Rafif menambahkan, Golkar memerlukan sosok yang bisa memperbaiki citra partai, sebab sejauh ini partai tersebut identik dengan citra partai pendukung koruptor.

Untuk menghapus citra itu, menurut Rafif, partai harus mencari sosok yang memiliki pengalaman dan kemampuan menghapus faksi, juga kemampuan komunikasi politik dan bebas dari tindak pidana, khususnya korupsi.

Bekas Ketua DPP Yorrys Raweyai menyebut, sosok yang tepat menggantikan Novanto adalah Ketua Koordinator DPP Partai Golkar Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto, yang kini menjabat sebagai Menteri Perindustrian.

Ia mengklaim sudah menemui Airlangga untuk membicarakan kesiapannya sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Golkar, namun Airlangga menepis kabar tersebut. Ia mengaku tak berencana untuk menggantikan Novanto.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER