Penggusuran Ahok, Penghalau Banjir yang Diponten Merah

CNN Indonesia
Jumat, 13 Okt 2017 12:41 WIB
Warga menikmati hasil penertiban kawasan bantaran kali. Namun cara Ahok menormalisasi sungai dikritisi. Dinilai melanggar HAM karena menggusur paksa.
Ahok disebut sebagai Gubernur DKI Jakarta yang paling sering menggusur. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sore itu, Selasa (10/10) Nizar duduk di bangku panjang depan pagar rumahnya. Segelas teh dan sebungkus rokok kretek tergeletak di meja samping bangku. 

Sesekali Nizar mengisap rokok kreteknya. Dia menikmati senja bersama temannya Ujang. Rumah Nizar tepat di pinggir Kali Ciliwung, tepatnya di kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan. 

"Sekarang enak sudah bagus, dulu kumuh. Apalagi kalau langit mendung, warga sudah deg-degan, khawatir banjir," kata Nizar saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aktivitas ‘nongkrong’ di depan rumah saat pagi atau sore hari menjadi kegiatan baru bagi warga Bukit Duri, setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menormalisasi bantaran Ciliwung.
Nizar menuturkan, sejak kampungnya ditata ulang dan warga direlokasi ke Rumah Susun Jatinegara Barat dan Rawa Bebek, banjir yang kerap menghantui rumah warga tak lagi terjadi. 

“Dulu kami ada data di pos warga. Kalau ketinggian air dari Bogor sudah mencapai angka 100 centimeter, kami siap-siap. Paling parah itu kalau banjir lima tahunan. Bisa merendam rumah,” kata Nizar.

Ujang yang duduk di sebelahnya menunjuk ujung pagar rumah sebagai batas ketinggian banjir yang pernah menerjang wilayah itu. “Kami senang sekarang berubah. Terasa manfaatnya, Jakarta memang butuh pemimpin yang tegas, tapi jangan yang umbar SARA,” kata Nizar sambil tertawa.

Nizar berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melanjutkan program normalisasi Ciliwung dan menata kembali perkampungan. “Ruang-ruang terbuka hijau ditambah, ditanami pohon, biar rapih, dan enggak panas,” katanya.

Namun upaya membuat nyaman warga dan menata kawasan bantaran kali malah kerap dihujani kritik. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dinilai tak berpihak pada warga miskin ibu kota.
Penggusuran Ahok, Antara Obat Banjir dan Rapor MerahKawasan Kampung Pulo setelah Sungai Ciliwung dinormalisasi. (CNN Indonesia/Priska Sari Pratiwi)
Ahok memang dikenal suka menggusur. Penggusuran di masa kepemimpinan Ahok tercatat paling banyak dalam sejarah pemimpin DKI.

"Menurut catatan yang ada, era gubernur Ahok terbanyak sepanjang sejarah, hal ini dikonfirmasi oleh sejarawan," kata Pengacara Publik LBH Jakarta Alldo Fellix Januardy saat ditemui CNN Indonesia.com di Kantornya di Jalan Diponegoro Menteng, Jakarta Pusat.

Alldo mengatakan, berdasarkan laporan LBH Jakarta Tahun 2015, terdapat 113 kasus penggusuran paksa dengan 8.145 kepala keluarga dan 6.283 unit usaha terdampak. Penelitian menunjukkan bahwa 84 persen (97 kasus) penggusuran dilakukan tanpa melalui prosedur musyawarah dengan warga.

Sedangkan tahun 2016, terdapat 193 penggusuran paksa di DKI Jakarta dengan jumlah korban 5.726 KK dan 5.379 unit usaha. Dari 193 kasus, 97 merupakan penggusuran terhadap unit usaha, 90 penggusuran terhadap hunian keluarga, dan 6 merupakan penggusuran terhadap kawasan gabungan.

"Provinsi DKI Jakarta menjadi kota yang tidak ramah HAM dan tidak ramah kepada masyarakat miskin," kata Alldo.
Dikatakan Alldo, rapor merah tersebut khusus untuk segi pertanahan dan perumahan di Jakarta. 

"Kalau dari sisi yang lain, seperti, reformasi birokrasi, transparansi mungkin Ahok boleh dibilang berhasil. Tapi kami memberikan rapor merah untuk Ahok dari segi hak atas rumah," kata Alldo.
Menurutnya, Ahok seharusnya lebih bisa memerhatikan sisi kemanusiaan dalam melakukan penggusuran. 

"Pembangunan adalah keniscayaan, tapi perhatikan juga sisi kemanusiaannya," katanya.

Selama memimpin DKI Jakarta, Ahok -Djarot menyatakan bahwa penyebab banjir Jakarta adalah sungai yang menyempit. Solusinya, sungai di Jakarta harus dinormalisasi dan satu-satunya cara adalah dengan melenyapkan bangunan di bantaran sungai.
 
Alasan normalisasi ini yang kemudian menjadi pembenaran akan penggusuran seperti di Kampung Pulo dan Bukit Duri. Padahal, menurut Alldo, ada banyak cara untuk menyikapi warga yang tinggal di bantaran sungai. Pemukiman mereka bisa ditata sedemikian rupa seperti apa yang diusulkan oleh banyak arsitek kampung kota.
Penggusuran Ahok, Antara Obat Banjir dan Rapor MerahKampung Pulo jadi langganan banjir sebelum Sungai Ciliwung dinormalisasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
 Sementara, solusi bagi warga yang tergusur yang kemudian dipindahkan ke rumah susun, menurut LBH Jakarta justru menimbulkan masalah baru. Dengan pindah ke lingkungan baru, warga juga harus menambah biaya untuk kebutuhan sehari-hari untuk transportasi, biaya listrik, dan air. Akibatnya, terjadi tunggakan pembayaran sewa rusun yang menggunung.

Penggusuran paksa memicu dampak kemiskinan dan semakin memperbesar ketimpangan ekonomi.

"Penggusuran juga seringkali dilakukan saat sedang terjadi kenaikan kelas bagi anak-anak yang masih bersekolah," kata Alldo.

Di masa pemerintahan Anies-Sandi ke depan, Alldo memprediksi penggusuran juga akan tetap terjadi.  “Intinya kami tidak percaya janji kampanye, setiap periode gubernur dibahas tapi penggusuran tetap terjadi," kata Alldo.

Indikasi penggusuran, menurut Alldo dapat dilihat dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). 
"Selama dua tahun belakang anggaran penggusuran itu Rp22 miliar per tahun, anggaran itu hanya untuk operasional, hanya untuk eksekusi, bukan untuk ganti rugi. Jadi bisa dilihat sendiri," katanya.

Apalagi selama ini, kata dia, masih ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan terhadap warga yang dianggap mendiami tanah yang diklaim milik Negara, meskipun telah tinggal di atas tanah itu selama berpuluh-puluh tahun. 
"Termasuk melakukan penggusuran," kata dia.

Pengacara LBH Jakarta lainnya, Nelson Nikodemus Simamora berpendapat, penggusuran yang dilakukan pemimpin DKI Jakarta dapat menunjukkan keberpihakan pemimpin tersebut pada rakyat miskin.

"Ahok-Djarot di satu sisi memastikan anak-anak mendapatkan jaminan pendidikan (KJP) tapi menggusur pemukiman warga yang mengakibatkan warga miskin kehilangan tempat tinggal. Hal terakhir tentunya bukan contoh pemimpin yang berpihak pada rakyat miskin," katanya.

Nelson berharap Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Sandi tidak menggusur warga seperti janji manis kampanye mereka.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER