Jakarta, CNN Indonesia -- Biasanya dalam waktu lima tahun atau satu periode pemilihan, sebuah provinsi hanya akan punya satu gubernur. Tapi tidak dengan Jakarta. Periode 2012-2017, Ibu Kota merasakan kepemimpinan tiga orang: Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, dan Djarot Saifu Hidayat.
Jokowi, mulai memimpin Jakarta pada tahun 2012 saat memenangi Pilkada bersama Basuki yang jadi wakilnya. Ia bersama Ahok, sapaan Basuki, mengalahkan pasangan Fauzi Bowo dan Nahrawi Ramli di putaran kedua Pilkada.
Namun Jokowi cuma dua tahun jadi orang nomor satu di DKI Jakarta. Mantan Wali Kota Solo ini kemudian berlaga di Pilpres 2014. Berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jokowi mememangi persaingan atas Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahok yang saat itu jadi Wakil Gubernur, menggantikan Jokowi. Sesuai dengan aturan, Ahok berhak menunjuk wakilnya. Terpilihlah Djarot Saiful Hidayat, bekas Wali Kota Blitar.
Namun sama seperti Jokowi, Ahok juga tidak bisa menuntaskan masa jabatannya. Bedanya, kalau Jokowi “naik kelas” dengan jadi Presiden, Ahok malah turun kelas dengan menjadi pesakitan.
Kasus penodaan agama membuat Ahok harus dipenjara selama dua tahun. Belum diberhentikan, Ahok memilih mundur.
Djarot kemudian naik jadi Gubernur setelah sebelumnya jadi pelaksana tugas. Namun karena sisa masa jabatan hanya hitungan bulan, ia tak berhak memilih wakil. Ia pun menjadi
single fighter menjadi pemimpin di ibu kota hingga habis masa jabatannya pada 15 Oktober 2017 ini.
Jokowi (15 Oktober 2012 – 16 Oktober 2014)Sejak awal masa kampaye Pilkada, Jokowi berjanji akan menerbitkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) bagi warga DKI Jakarta. Jokowi juga berjanji membangun kampung deret dan menggelar lelang jabatan untuk pejabat di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Visinya adalah 'Jakarta baru, kota modern yang tertata rapi dan manusiawi, dengan kepemimpinan dan pemerintah yang bersih dan melayani'.
Dalam visi-misnya saat mencalonkan diri, Jokowi berjanji tidak akan bersedia dikawal agar bisa turut merasakan kemacetan di Jakarta. Ia juga akan lebih banyak bertemu warga. Sejak itulah istilah blusukan mulai populer.
Ahok (19 November 2014 – 9 Mei 2017)Sebagai penerus Jokowi, secara garis besar, apa yang dilakukan Ahok sama seperti yang dilakukan pendahulunya. Namun terkait teknis pelaksanaan, Ahok banyak berimprovisasi.
Misalnya soal pemanfaatan keofesien lantai bangunan (KLB), tanggub jawab sosial (CSR) perusahaan, hingga kontribusi tambahan untuk pengembang. Ahok beberapa kali menyatakan ingin membangun Jakarta menggunakan duit perusahaan swasta. Maka jadilah beberapa proyek infrastruktur di mana Pemprov tak mengeluarkan uang. Misalnya jalan layang Semanggi, Kalijodo, revitalisasi Kota Tua, dan beberapa proyek lainnya.
Sementara dari sisi transportasi, Ahok menghapus sistem 3 in 1 dan menggantikannya dengan sistem pelat nomor ganjil/genap. Dengan dalih mengurai kemacetan di jalur protokol, Ahok juga melarang sepeda motor melintas di dua jalur utama, Jalan MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat.
 Djarot bersama Ahok saat dilantik menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta.(CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Selain rajin blusukan, Ahok juga rajin menerima curhatan warga langsung setiap hari kerja di Balai Kota. Apapun masalah bisa diadukan ke Ahok. Dari mulai soal rumah susun, hingga pemanfaatan KJP.
Namun Ahok juga dikenal sebagai gubernur tukang gusur dengan alasan revitalisasi sungai untuk penanganan banjir.
Djarot (9 Mei 2017-16 Oktober 2017)Tak banyak waktu yang dimiliki Djarot, hanya hitungan bulan. Memilih wakil saja tak memungkinkan. Djarot hanya melanjutkan apa yang dilakukan Ahok. Namun ada beberapa perbedaan gaya kepemimpinan. Misalnya, Djarot tidak mendengar langsung keluh kesah warga di Balai Kota. Ia memilih menugaskan sejumlah pegawainya untuk mendengarkan masalah warga berdasarkan jenis permasalahannya, untuk dicatat dan dicarikan solusinya.
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, meski bergonta-ganti gubernur selama satu periode, pembangunan di Jakarta tak akan berpengaruh besar selama tetap berpatokan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJPMD).
RJPMD ini berlaku selama lima tahun yang disusun sejak Jokowi memimpin Jakarta tahun 2012. “Yang penting target RPJMD terpenuhi. Kan ada target untuk masing-masing sektor, misalkan untuk sektor pendidikan atau sektor transportasi,” kata Yayat kepada CNNIndonesia.com
Yayat mengatakan, untuk sebuah kota mapan seperti Jakarta, sebenarnya tidak diperlukan lagi program atau rencana baru lagi. Tinggal melanjutkan yang sudah direncanakan sejak awal dan bagaimana diwujudkan.
“Jakarta sudah terlalu banyak rencana,” katanya.
Menurut Yayat, sekarang tinggal bagaimana gubernur yang melanjutkan kepemimpinan, menggenjot percepatan pembangunan.
Kendala menurutnya pasti ada. Misalnya soal pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur transportasi yang kadang butuh waktu lama. Hal ini yang terjadi pada proses pembangunan jalur MRT di kawasan Jakarta Selatan di mana pembebasan lahan masih terhambat.
Padahal jalur MRT ini masuk dalam RJPMD yang disusun Jokowi-Ahok tahun 2012 untuk diimplementasikan tahun 2013-2017.
Selain itu target RJPMD yang belum tercapai adalah pembangunan 10 ribu unit rumah susun. Saat ini baru terealisasi sekitar 6.000 unit.
Sebelum ada RJPMD baru, program itu harus diteruskan sampai rampung. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan, program Ahok itu tetap berjalan siapapun gubernurnya.
Menurutnya, tak ada alasan bagi gubernur selanjutnya untuk tidak menjalankan program-program itu, sebab ada aturannya, baik itu undang-undang, peraturan gubernur, maupun peraturan pemerintah.
"Dijalankan karena ada aturannya, ada undang-undangnya, siapapun pejabatnya kalau masih ada aturannya masih berjalan dan masih berlaku," ujar Tuty belum lama ini.
Tuty menjelaskan, program-program Ahok itu dari awal bertujuan untuk membangun Jakarta lebih baik.