Jakarta, CNN Indonesia -- Pemohon gugatan swastanisasi air Jakarta mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan Pemprov DKI Jakarta memutuskan hubungan kontrak pengelolaan air oleh pihak swasta, yaitu PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).
Gugatan atas swastanisasi air dilayangkan oleh Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) pada 2012
Kuasa hukum pemohon dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alghifari Aqsa mengatakan, terdapat sejumlah pelanggaran yang dilakukan kedua perusahaan. Salah satunya pelanggaran perjanjian kerja sama dengan Pemprov DKI—dalam hal ini PAM Jaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ada tindakan KKN dengan penerbitan surat dari Presiden Soeharto yang saat itu memerintahkan agar pengelolaan air beralih ke swasta,” ujar Alghifari dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, Kamis (12/10).
Selain itu, Alghifari juga menyoroti penyimpangan aset dari Aetra dan Palyja hingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2015 setidaknya muncul kerugian negara hingga Rp1,4 triliun dari perjanjian kerja sama tersebut.
“Swastanisasi air ini juga menimbulkan terjadinya pelanggaran hak atas air. Warga Jakarta tidak dapat mengakses air bersih,” katanya.
Bahkan menurutnya, kebijakan swastanisasi air ini merugikan warga dari sisi finansial karena tarif yang cukup mahal, yakni mencapai Rp7.000 per meter kubik tidak dibarengi dengan kualitas air bersih.
Ia membandingkan dengan harga air di daerah lain yang tak lebih dari Rp5.000 per meter kubik.
“Ini privatisasi yang sangat buruk. Nanti orang yang tidak mampu bayar langsung di-cut, padahal kualitas airnya memang buruk,” ucapnya.
Alghifari menuturkan, putusan MA ini semakin menguatkan bahwa praktik swastanisasi air harus dihentikan. Ia berharap pemprov DKI dan kedua perusahaan tersebut mematuhi putusan MA.
Kuasa hukum penggugat lainnya, Arif Maulana menambahkan, putusan MA ini sebenarnya telah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan seluruh ketentuan tentang UU Sumber Daya Air.
Beleid tersebut dianggap bertentangan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Arif mengatakan, pasal tersebut mestinya menjadi landasan bahwa pemerintah tak boleh mengambil keuntungan dalam pengelolaan air. Sebab, sesuai keputusan MK pengelolaan air prinsipnya adalah res commune atau milik publik
“Jadi dalam pengelolaannya negara enggak boleh ambil untung, sehingga ketika dikembalikan ke negara itu ada jaminan air harus lebih murah,” ucapnya.
Antisipasi Peninjauan KembaliMeski demikian, Arif mengingatkan bahwa perjuangan para penggugat tak berhenti sampai putusan MA. Tak menutup kemungkinan pihak tergugat dalam hal ini presiden, wakil presiden, menteri keuangan, menteri pekerjaan umum, DPRD DKI Jakarta, PAM Jaya, serta Palyja dan Aetra, mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Arif mengklaim pihaknya siap menghadapi apapun proses hukum yang diajukan pihak tergugat.
“Masih ada mekanisme PK, tapi apapun itu kami siap menghadapinya,” ucapnya.
Sementara itu pihak Aetra maupun Palyja hingga saat ini belum merespons terkait rencana untuk PK atau tidak.
Gugatan swastanisasi air dilayangkan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) pada 2012. Sementara dalam permohonan kasasinya diwakili 12 orang penggugat, salah satunya yaitu Beka Ulung Hapsara selaku anggota pendiri Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha).
Dalam putusannya MA menyatakan pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air di Jakarta kepada pihak swasta.