Jakarta, CNN Indonesia -- Putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini PAM Jaya, mengambil alih pengelolaan air dari pihak swasta PT Aetra dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) diyakini dapat mengurangi permasalahan air di ibu kota.
Kuasa hukum penggugat, Arif Maulana mengatakan, jika pengelolaan air dialihkan ke PAM Jaya tarif penggunaan air dijamin lebih murah ketimbang yang dipatok kedua perusahaan yakni sekitar Rp7.000 per meter kubik.
“Kalau pun membayar hanya biaya pengelolaan saja,” ujar Arif dalam konferensi pers di kantor LBH, Jakarta, Kamis (12/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, PAM Jaya dapat mencontoh tarif penggunaan air yang dikelola pemerintah kota Surabaya yang berkisar Rp1.000 hingga Rp2.000 per meter kubik.
“Itu sama-sama PAM dan bagus pengelolaannya,” katanya.
Arif menyatakan, mahalnya tarif dari Aetra dan Palyja tak diimbangi dengan produksi air yang berkualitas. Bahkan, ia kerap menerima keluhan dari warga, mulai dari pompa air yang sering mati hingga kualitas kejernihan air.
Ia tak menampik bahwa keluhan semacam itu akan terjadi ketika pengelolaan air dikembalikan ke PAM Jaya. Namun Arif optimistis pengelolaan air akan lebih maksimal jika dikelola negara.
“Ketika negara yang menguasai, maka ada jaminan akan lebih murah dan harus transparan dan akuntabel karena dikelola berdasarkan hukum konstitusi,” tuturnya.
Apalagi, lanjutnya, putusan MA ini telah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan seluruh isi UU Sumber Daya Air. MK menyatakan pemerintah tak boleh mengambil keuntungan dalam pengelolaan air karena mengacu pada prinsip res commune atau milik publik.
 Instalasi pengolahan air Palyja. Warga Jakarta kerap mengeluh soal kualitas air yang dikelola oleh swasta. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Menurut Arif, putusan MK mestinya bisa menjadi landasan bagi pemerintah maupun pihak swasta untuk tak mengambil keuntungan dari pengelolaan air, khususnya di Jakarta.
Ia juga mengakui tak mudah bagi PAM Jaya langsung mengambil alih pengelolaan air dari Aetra dan Palyja. Terlebih pihak PAM Jaya terikat kontrak hingga tahun 2023 dengan kedua perusahaan.
Ada banyak permasalahan yang dihadapi kedua belah pihak sejak menjalin kerja sama pada tahun 1997. Untuk itu, Arif menyarankan agar pemerintah fokus menyiapkan mekanisme transisi termasuk dengan melibatkan masyarakat.
Menurutnya, pemerintah dapat mencontoh Prancis yang telah menerapkan mekanisme transisi dengan persiapan jauh hari.
“Saya kira penting membuat mekanisme transisi, karena memang tidak mudah juga. Ini permasalahan yang sangat kompleks,” ucapnya.
Perbedaan Penggunaan AirPerbandingan penggunaan air PAM Jaya dengan Aetra dirasakan betul oleh sebagian warga. Salah satunya Musrita. Warga Rawa Badak, Jakarta Utara ini mengaku penggunaan air dengan PAM Jaya lebih mudah dan murah.
Sebaliknya, sejak pengelolaannya dialihkan pada tahun 1997, Musrita sangat merasakan dampaknya. Saat ini, ia bisa membayar tarif Rp200 ribu hingga Rp230 ribu dalam sebulan.
“Airnya kecil, sering mati juga, kadang kotor. Udah gitu tarifnya mahal banget,” ucap Musrita saat ditemui di kantor LBH.
Perbedaan lain, lanjutnya, adalah ketika telat membayar. Musrita mengaku penggunaan airnya pernah dicabut karena telat membayar selama dua bulan. Sementara saat menggunakan PAM Jaya, tak ada tindakan apapun meski dirinya telat membayar berbulan-bulan.
“Dulu pakai PAM Jaya kalau telat enggak dicabut. Tapi ini Aetra kejam banget, kalau bulan ini enggak bayar besoknya langsung dicabut,” ucapnya.
Gugatan swastanisasi air diajukan pada 2012 oleh Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ).
Pada tahap kasasi, penggugat diwakili 12 orang, salah satunya yaitu Beka Ulung Hapsara selaku anggota pendiri Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha).