Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam tiga pekan terakhir, tiga lembaga survei ternama merilis elektabilitas figur-figur nasional. Masing-masing lembaga tersebut melakukan survei terhadap ribuan responden di seluruh Indonesia.
Responden yang disurvei oleh ketiga lembaga itu tentu tidak sama. Begitu pun dengan metode sampling survei yang ditempuh juga berbeda.
Meski demikian, ketiga lembaga mengklaim mendapat hasil yang tidak jauh berbeda, yakni Presiden Joko Widodo berada di posisi puncak dengan elektabilitas tertinggi sebagai calon presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) menyatakan bahwa 45,6 persen respondennya memilih Jokowi. Di belakangnya ada Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto dengan dukungan 18,7 persen responden. Hasil survei itu dirilis pada 5 Oktober lalu yang melibatkan 1.052 responden di seluruh Indonesia.
Lalu Indikator Politik Indonesia berdasar hasil surveinya juga menempatkan Jokowi sebagai peraih poin terbanyak dibanding figur lain. Berdasarkan survei berskala 0-50, Jokowi mendapat angka 34,2, sementara Prabowo menguntit dengan angka 11,5. Survei itu dirilis pada 12 Oktober lalu sebagai hasil dari wawancara tatap muka dengan 1.220 responden di seluruh Indonesia.
Polmark Indonesia juga menghasilkan kesimpulan survei serupa dengan SMRC dan Indikator Politik Indonesia. Berdasarkan pilihan 2.250 responden, 44,3 persen diantaranya ingin
Jokowi kembali menjadi presiden periode 2019-2024. Survei itu sendiri dirilis pada 22 Oktober lalu.
Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Palembang, Sumatera Selatan. (CNN Indonesia/Dinda Audriene Muthmainah). |
Jokowi memang senantiasa berada di pucuk, setidaknya berdasarkan survgei-survei terkini tersebut. Namun, pengamat politik Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menilai Jokowi belum berada di posisi aman untuk Pilpres 2019.
Adi menjelaskan bahwa posisi aman bagi seorang petahana ketika elektabilitasnya mencapai 60-65 persen.
"Kalau enggak sampai 60 persen, itu
warning atau alarm bagi seorang incumbent (petahana)," tutur Adi kepada CNNIndonesia.com, Minggu malam (22/10).
Elektabilitas yang mencapai 65 persen pun bukan jaminan Jokowi bisa memenangkan Pilpres 2019 mendatang. Menurut Adi, akan selalu ada faktor lain yang bisa membuat elektabilitas Jokowi mendadak terperosok hingga ke angka terkecil.
"Angka 65 persen bisa anjlok jika ada peristiwa luar biasa. Apalagi kalau tidak sampai 65 persen," ucap Adi.
Di sisi yang lain, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) baru merilis survei tentang kepuasan masyarakat atas kinerja Jokowi selama tiga tahun menjadi presiden. Tingkat kepuasan masyarakat mencapai 68,3 persen atau naik dari tahun 2016 yang berkutat di angka 66,5 persen.
Menanggapi hal itu, Adi mengatakan tingkat kepuasan dengan elektabilitas merupakan dua hal yang berbeda. Salah satu di antaranya tidak bisa saling menutupi. Apabila, tingkat kepuasan tinggi, bukan berarti masyarakat ingin Jokowi kembali memimpin.
Dia merujuk dari Pilkada Jakarta lalu yang dimenangkan oleh pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Menurut Adi, kala itu masyarakat Jakarta puas dengan kinerja Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Djarot Syaiful Hidayat. Tetapi kenyataannya, Ahok dan Djarot yang merupakan petahana dikalahkan oleh pasangan penantang, yaitu Anies dan Sandi.
Menurut Adi, itu bukti konkret bahwa puasnya masyarakat bukan berarti tidak ingin ada pergantian pemimpin.
"Jadi, kalau mau aman ya minimal mencapai 65 persen meski itu pun bukan jaminan," ujar Adi.
Berpacu dengan WaktuAdi menganggap Jokowi merupakan orang yang tidak meremehkan hasil survei. Selain itu, dia juga menilai Jokowi paham betul bahwa elektabilitasnya saat ini belum bisa dikatakan aman. Karenanya, Jokowi tentu akan kembali bergerilya untuk meningkatkan popularitasnya.
Di mata Adi, Jokowi sudah mulai menjalani misi tersebut. Penilaian Adi berangkat dari gelagat Jokowi yang berturut-turut mengunjungi beberapa daerah setelah lembaga survei merilis hasil kerjanya pada awal Oktober lalu. Ketatnya jadwal kunjungan kerja itu dinilai tidak biasa oleh Adi.
"Jokowi kan sebelumya kalau datang ritmenya dijaga. Tapi sebulan ini ada intensitas yang cukup luar biasa. Intensitas itu bisa dibaca," kata Adi.
Diketahui, Jokowi berkunjung ke Tarakan, Kalimantan Utara, 5 Oktober lalu setelah menghabiskan dua hari sebelumnya di Banten. Kemudian, Jokowi mendatangi Semarang, Jawa Tengah pada 9 Oktober.
Presiden Jokowi saat meninjau Posko Tanggap Darurat Erupsi Gunung Agung di lokasi pengungsian di GOR Swecapura, Kabupaten Klungkung.Bali. Selasa, 26 September 2017. (CNN Indonesia/Andry Novelino). |
Jokowi lalu mendatangi Palembang, Sumatera Selatan pada 12 Oktober yang dilanjut menuju Sumatera Utara pada 14 Oktober. Pada 19 Oktober, Jokowi bertolak ke Nusa Tenggara Barat. Keesokan harinya, yakni pada 20 Oktober, Jokowi sudah berada di Cirebon, Jawa Barat.
"Jokowi sudah mulai
running. Sudah mulai berpacu dengan waktu," kata Adi.
Selain itu, Jokowi juga memanfaatkan kunjungannya dengan bertemu masyarakat secara langsung. Misalnya, membagi sertifikat tanah sebagai perwujudan program Reforma Agraria, kemudian membagikan Kartu Indonesia Sehat, serta Kartu Indonesia Pintar.
Menurut Adi, tugas-tugas tersebut sebetulnya bisa dilakukan oleh kepala dinas setempat atau menteri yang bersangkutan. Namun, Jokowi tidak mau.
Adi menilai Jokowi ingin memanfaatkan momen kunjungan kerja sebaik mungkin untuk meningkatkan elektabilitasnya sendiri. Sebab, dengan memberi langsung, Jokowi secara psikologis politik bisa mengambil hati masyarakat.
"Jangankan diberikan sesuatu, dikunjungi saja sebetulnya sangat senang. Apalagi diberikan sesuatu," kata Adi.
Selain itu, Jokowi juga ingin mengantisipasi kemungkinan kepala dinas atau menteri yang belum tentu akan mendukungnya di Pilpres 2019 mendatang. Apalagi, pemberian sertifikat tanah, KIS, dan KIP itu bisa diklaim sebagai prestasi kepala dinas atau menteri yang berimbas pada popularitas Jokowi tidak mengalami peningkatan.
Di samping bertemu masyarakat, Jokowi tentu bertemu dengan kepala daerah setempat saat melakukan kunjungan kerja. Baik itu gubernur, bupati, maupun wali kota. Adi menganggap Jokowi juga memanfaatkan pertemuan dengan kepala-kepala daerah ini untuk investasi politik.
Salah satu upaya untuk mendapatkan banyak suara di tingkat nasional dapat ditempuh lewat relasi yang kuat dengan kepala daerah. Biar bagaimanapun, kepala daerah punya peran penting karena memiliki lebih banyak kesempatan untuk menemui masayarakat di wilayah kerjanya.
"Kalau Jokowi dikenal di mana-mana, tapi kepala daerahnya tidak bisa dipegang, itu berbahaya juga untuknya di Pilpres 2019," kata Adi.
Ke depan, sampai menjelang Pilpres 2019, Adi memprediksi Jokowi bakal sering berkunjung ke berbagai daerah. Tidak hanya perkotaan, tetapi juga akan masuk sampai ke pelosok.
Adi yakin Jokowi memahami bahwa masyarakat di pelosok sangat mengapresiasi pemimpin yang mau mendatangi wilayah tempat tinggalnya. Ingatan akan kedatangan itu akan terpelihara dalam waktu yang lama.
"Sebetulnya rakyat Indonesia kan tidak
matre-matre banget. Dikunjungi saja juga sudah senang sekali. Apalagi datang dengan membawa sesuatu, misal program untuk rakyat," ucap Adi.