Relasi KPK Polri yang Diwarnai Gesekan

Martahan Sohuturon | CNN Indonesia
Selasa, 07 Nov 2017 07:41 WIB
Gesekan antara Polri dan KPK akan terus terjadi selama kesalahpahaman tentang korsa di dalam tubuh Polri masih ada.
Ketua KPK Agus Rahardjo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Berbagai upaya dilakukan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membangun sinergitas dalam melaksanakan tugas penegakan hukum di Indonesia.

Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dan saling menghadiri undangan kegiatan menjadi dua contoh upaya yang dilakukan kedua institusi dalam membangun sinergitas tersebut.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian pernah menyatakan, Polri akan terus berkomitmen dalam membina hubungan baik dengan KPK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataan itu disampaikan Tito saat memberikan keterangan pers bersama Ketua KPK Agus Rahardjo yang didampingi dua Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif dan Saut Situmorang, usai upacara serah terima jabatan sejumlah Perwira Tinggi Polri, di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Selasa (19/9).

"Hubungan pimpinan kedua lembaga sangat baik. Saya selalu tegaskan bahwa Polri komitmen untuk bangun hubungan dengan KPK, sinergi dengan KPK," kata Tito.

Namun, komitmen itu terlihat tidak dipegang teguh oleh Tito dalam momen tertentu.

Jenderal bintang empat itu pernah menyinggung dua istilah yang kerap digunakan KPK di hadapan awak media.

Istilah pertama adalah 'Jumat Keramat'. Istilah itu dilontarkan Tito saat memberikan sambutan pada acara pemberian penghargaan kepada 43 anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) dan dua anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) Aula Ruang Rapat Utama, Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Jumat (13/10).

'Jumat Keramat' menjadi istilah yang melekat pada KPK lantaran penahanan sejumlah tersangka kasus korupsi kerap dilakukan pada hari Jumat. Contohnya, politikus Demokrat Angelina Sondakh, tersangka kasus suap Wisma Atlet dan proyek Kementerian Pendidikan yang ditahan pada Jumat, 27 April 2012. Kemudian, mantan Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan Rustam Pakaya yang ditahan pada Jumat, 20 April 2012.

"Biasanya, Jumat disebut hari keramat. Tapi hari ini hari keramat bagus," kata Tito.

Istilah kedua adalah operasi tangkap tangan (OTT), yang dilontarkan Tito saat memberikan keterangan pers usai dikukuhkan menjadi Guru Besar di Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, Kamis (26/10).

Menurutnya, kesuksesan instansi penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilihat dari penurunan jumlah kasus, bukan jumlah OTT yang dilakukan.


Tito mengaku, tidak setuju pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara melakukan penangkapan dalam jumlah yang masif. Dia khawatir, budaya OTT dalam pemberantasan korupsi justru akan melahirkan ketakutan dalam sistem birokrasi.

"Pencegahan sangat penting, memerbaiki sistem sangat penting, itu yang harus masif. Jangan di balik jadi 'put them into the jail'. Jangan tangkap sebanyak-banyaknya masuk ke dalam penjara," kata mantan Kapolda Metro Jaya itu.

Maksud dan tujuan Tito menggunakan dua istilah yang akrab dengan KPK ini tidak diketahui secara pasti. Dia tidak menyertakan nama institusi penegak hukum yang berdiri sejak 2002 tersebut secara tegas dalam dua kesempatan penggunaan istilah tersebut.

Potensi Gesekan

Sejarah mencatat, hubungan antara Polri dan KPK pernah bergesekan dalam tiga episode di masa lalu. Gesekan itu dikenal dengan istilah 'Cicak vs Buaya'.

Kini, gesekan hubungan kedua institusi berpotensi kembali terjadi setelah muncul isu pemulangan dua penyidik KPK ke institusi Polri, Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy dan Komisaris Harun, lantaran diduga melakukan perusakan dan penghilangan barang bukti kasus suap uji materi Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dengan tersangka Basuki Hariman.

Agus selaku Ketua KPK mengatakan, tindakan kedua anggota Polri itu dipastikan setelah Direktorat Pegawasan Internal (PI) selesai melakukan pemeriksaan. Agus mengatakan, pengembalian dua polisi itu ke Polri merupakan hukuman berat atas tindakan mereka.

"Nah waktu hasil akhirnya paripurna dikembalikan. Di suratnya waktu pengembalian kita buktikan," kata Agus.

Terkait hal ini, Polri belum memberikan tanggapan banyak. Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan, pihaknya akan mendalami dugaan pelanggaran yang diisukan menjadi penyebab Roland dan Harun dikembalikan dari KPK ke Polri.

"Nanti kami dalami lagi, karena itu kami belum tahu informasi sebenarnya. Apakah itu betul barang bukti atau bukan," kata Setyo.

Senada, Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul mengaku belum menerima penjelasan resmi dari KPK mengenai isu tersebut.

Dia mengaku hanya menerima informasi bahwa dua penyidik KPK dikembalikan ke institusi Polri, lantaran masa dinas sudah habis.

"Kami belum terima penjelasan resmi, seperti apa yang disampaikan oleh KPK. Kalau kami baca, teman-teman media menulis pernyataan Komisioner KPK itu sudah habis masa dinasnya maka dikembalikan," ucap Martinus.

Pengamat hukum dari Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar mengatakan, penyebab berbagai gesekan yang terus menyelimuti hubungan Polri dengan KPK adalah kejadian-kejadian yang merugikan KPK.

Dia menuturkan, gesekan yang terjadi antara Polri dan KPK terkadang terjadi karena kepentingan individu tertentu yang diangkat menjadi kepentingan kelembagaan.

Dia mencontohkan, kejadian pemulangan Roland dan Harun lantaran diduga merusak bukti salah satu kasus yang tengah disidik KPK.

"Hal yang melatarbelakangi kenapa tidak akur itu sebenarnya ada kejadian-kejadian yang merugikan KPK, yang terakhir pemulangan terkait perusakan barang bukti," kata Abdul saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.

Dia menuturkan, isu perusakan barang bukti yang dilakukan Roland dan Harun menujukkan kesulitan penyidik KPK asal Polri memosisikan diri dalam pemberantasan korupsi.

Katanya, penyidik KPK asal Polri kerap menghadapi rasa bimbang ketika dihadapkan dalam kasus yang berkaitan dengan institusi asalnya.

"Kasus barang bukti itu menggambarkan ada kebimbangan dia berdiri. Kalau dia jujur, dia harus hantam oknum yang salah, dan itu secara sosiologis enggak mungkin. Akhirnya seperti itu yang terjadi," ucap Abdul.

Dia pun menilai, ego sektoral masing-masing institusi penegak hukum yang tidak sadar akan tugas pokok, dan fungsi menjadi penyebab gesekan terus terjadi.

Menurutnya, sebelum KPK berdiri, Polri kerap bergesekan dengan Kejaksaan Agung lantaran berebut penanganan kasus tindak pidana korupsi.

"Ini penyakit laten, betul ego sektoral, masing-masing tidak sadar akan fungsinya," kata dia.

Salah Paham Korsa

Pengamat kepolisian Bambang Rukminto mengatakan, gesekan antara Polri dan KPK akan terus terjadi selama salah paham tentang korsa di dalam tubuh Polri masih ada.

Menurutnya, semangat jiwa korsa dalam tubuh Polri kerap hanya diartikan dalam upaya untuk saling menutupi kasus masa lalu. Akibatnya, kasus tersebut menjadi masalah yang bertumpuk dan tidak bisa diselesaikan.

"Masalah KPK vs Polri itu akan terulang terus menerus. Ada yang salah kaprah dalam memahami korsa di tubuh polisi. Korsa hanya dipahami untuk saling menutupi kasus rekanya di masal lalu, akibatnya ini akan jadi borok yang membusuk yang susah diobati," ucap Bambang kepada CNNIndonesia.com.

Dia mengatakan, langkah untuk menghentikan kesalahpahaman tersebut sebenarnya telah ditempuh Jokowi dengan melantik Tito sebagai Kapolri. Namun, menurutnya, Tito belum berhasil menjalankan amanat tersebut.

Bahkan, lanjut dia, Tito terlihat semakin kewalahan dalam menyikapi berbagai kebiasaan lama yang masih terjadi di tubuh Polri. Menurutnya, hal tersebut berakibat pada salah eksekusi yang dilakukan oleh mantan Kapolda Papua itu.

"Makin ke sini, tampak Tito makin kedodoran, sementara elemen-elemen lama yang menggerogoti Polri juga ikut menata sistem," katanya.

Selain itu, menurut Bambang, gesekan antara Polri dan KPK juga berpotensi terulang kembali di tengah wacana Tito membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) dengan anggaran mencapai Rp2,6 triliun.

Dia menuturkan, gesekan antara Polri dan KPK akan terus terjadi selama pola pemberantasan korupsi yang ditangani Polri hanya bersifat tebang pilih.

"Masalah akan terus terulang bila Polri tidak merubah mindset-nya dalam pemberantasan korupsi yang sejak awal nyaris tidak berubah, yakni sekadar kavling-kavling yang bisa diolah dan dijadikan sumber pundi-pundi," tuturnya.
(ugo/djm)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER