Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana tetap yakin tidak ada preman di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Hal itu ditegaskan pria yang kerap disapa Haji Lulung itu saat dimintai tanggapan atas temuan Ombudsman RI.
Sebelumnya
Ombudsman RI melakukan investigasi penataan dan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di beberapa titik DKI Jakarta, termasuk Tanah Abang. Laporan hasil investigasi itu lalu dirilis Kamis (2/11) lalu.
"Ayo dong sama-sama investigasi (dugaan preman di Tanah Abang). Tanya dong, Ombudsman, kamu dari mana? siapa namanya?" ujar Lulung ketika ditemui di Gedung DPRD DKI, Selasa (7/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya kepengin teman-teman investigasi. Jangan 'katanya-katanya', ya," ujar politikus PPP yang juga tokoh di kawasan Tanah Abang tersebut.
Dalam temuan investigasinya, Ombudsman RI menduga ada oknum dan preman yang berperan kongkalikong untuk melindungi PKL berdagang sembarangan di Tanah Abang. Bukan hanya melindungi, oknum Satpol PP dan preman bekerja sama untuk mencarikan lokasi berdagang PKL dengan imbalan uang dan perlindungan.
Temuan itu diperoleh dari hasil investigasi Ombudsman RI pada 9-10 Agustus 2017 di enam lokasi yang berbeda. Menanggapi temuan tersebut, Lulung menilai Ombudsman atau siapapun yang mengklaim menemukan oknum preman di Tanah Abang menunjukkan bukti berupa data diri terduga yang ditemukan itu.
Lebih lanjut, Lulung pun berharap masyarakat dapat menyamakan persepsi atas siapa yang disebut sebagai 'preman'.
Berdasarkan pengertian Lulung, preman adalah oknum yang memeras. Jika ada oknum semacam itu di Tanah Abang, Lulung pastikan oknum itu bukan warga setempat.
"Kalau preman,
haqqul yaqin anak lingkungan marah. Pasti anak lingkungan [Tanah Abang] dulu yang bawa, lapor ke polisi. Pasti!" ujar Lulung.
Salah satu sudut kawasan Tanah Abang, di mana terlihat PKL yang berjualan di trotoar sepanjang Jalan Jatibaru Raya (seberang Stasiun Tanah Abang) pada Selasa (7/11). (CNN Indonesia/Ramadhan Rizki Saputra) |
Walupun begitu, Lulung tidak memungkiri jika warga setempat yang ia istilahkan sebagai 'anak lingkungan' juga menerima uang dari PKL.
Uang tersebut, kata Lulung, adalah upah karena si 'anak lingkungan' telah menjaga kampungnya agar senantiasa aman dan tertib. Sehingga, Lulung menolak mereka disebut preman.
"Orang lingkungan cari nafkah, '
jagain kampungnya' kalau orang Betawi bilang. Makanya, ngomongnya yang objektif," ujar Lulung.
(kid/sur)