Langkah pertama yang bersifat jangka pendek yakni dengan cara pendataan ulang dan mengidentifikasi secara lengkap, cermat dan terstruktur jumlah PKL yang berjualan di Tanah Abang.
 Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A |
Pendataan ini nantinya bisa menghasilkan peta dan data akhir yang akurat tentang profil dan jumlah PKL Tanah Abang.
Pada tahap ini harus ada sinergi antarpemangku kepentingan (stakeholder). Pemprov DKI diwakili melalui Dinas Koperasi dan UMKM, pihak kelurahan setempat, dan asosiasi PKL DKI Jakarta harus bersinergi membuat data PKL ini dengan tepat.
“Karena pada dasarnya banyak juga PKL yang nakal, ada yang punya kios di dalam dan ada yang jualan di luar juga, sehingga Pemprov penting harus memiliki data ini,” ujarnya.
Setelah peta dan data PKL diperoleh, langkah selanjutnya adalah penertiban dan pendistribusian PKL.
Ada beberapa langkah alternatif pendistribusian PKL ini, pertama bisa disebar ke seluruh pasar-pasar tradisional yang berada di bawah PD Pasar Jaya.
Alternatif kedua, PKL bisa didistribusikan ke seluruh mal dan gedung perkantoran di wilayah DKI Jakarta.
Penyebaran PKL ke mal dan gedung perkantoran sangat mungkin dilakukan berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL.
Pergub itu mewajibkan setiap mal dan perkantoran di Jakarta menyediakan lahan bagi Pedagang Kaki Lima (PKL). Luas lahan yang wajib disediakan 10-20 persen dari besaran luas yang dibangun.
Jika dirasa kurang, alternatif lainnya dengan melibatkan para pedagang dalam festival atau acara yang bisa digunakan berjualan.
“Artinya masih ada banyak kemungkinan mereka untuk berjualan. Yang penting data PKL tadi dikunci dulu, jangan sampai sudah dikunci ada lagi PKL yang baru," kata Nirwono.
"Dari awal harus tegas. Jika tidak boleh, ya tidak boleh. Jangan menawar dan buka peluang, makanya didistribusikan,” imbuhnya.
Penataan PermanenLangkah kedua yang bersifat permanen, dikatakan Nirwono, Pemprov DKI diharapkan membuat
grand design revitalisasi keseluruhan wilayah di sekitar Pasar Tanah Abang. Hal ini berkaitan dengan potensi perekonomian yang begitu tinggi di kawasan tersebut.
Revitalisasi ini, lanjut dia, sudah tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2030 sebagai arah menaikkan potensi Pasar Tanah Abang ke level internasional jika bisa ditata dengan baik.
Menurut dia, Tanah Abang saat ini sudah cukup memikat pedagang dari luar negeri. Ini terbukti dari banyaknya pedagang Timur Tengah bahkan Afrika mengambil barang dari Tanah Abang untuk dijual kembali.
"Jadi potensinya bukan hanya lokal Jakarta dan nasional tapi sudah internasional. Ini yang belum dikelola," jelasnya.
Dengan potensi besarnya itu,
grand desaign revitalisasi Pasar Tanah Abang juga harus memperhatikan sistem integrasi antara pasar, jalur transportasi dan penginapan bagi konsumen dari luar negeri.
Untuk transportasi, Tanah Abang ke depannya harus terintegrasi dengan stasiun Kereta Api, Halte Transjakarta, light rail transit (LRT) dan Kereta Bandara. Ini untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi sekaligus mendorong transportasi massal.
Selain itu, untuk mengatasi kesemrawutan pejalan kaki, Pemprov DKI bisa membangun jembatan layang khusus pejalan kaki yang berintegrasi antara stasiun dan Pasar Tanah Abang.
“Kalau tidak ada pejalan kaki di trotoar juga tidak akan ada PKL yang berjualan. Karena ada
supply and demand. Nah itu harus ada pembaruan sistem sirkulasinya dan sistem transportasi, dan pasarnya yang direvitalisasi,” katanya.
 Foto: CNN Indonesia/Lalu Rahadian |
Dari dua konsep yang ditawarkan itu, Nirwono menilai kunci dari pengelolaan PKL Tanah Abang adalah ketegasan pemimpinnya. Anies-Sandi harus tegas melarang PKL berjualan di trotoar sesuai Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Selain itu, menurut Nirwono, Pemprov DKI Jakarta juga berkewajiban mengelola PKL di Pasar Tanah Abang tanpa melibatkan preman dan aparatur kekerasan seperti Satpol PP.
Ia khawatir diakomodasinya preman dapat menimbulkan permasalahan baru yang nantinya bisa menjalar ke pasar lainnya di wilayah DKI Jakarta.
“Mereka (preman) jadi berfikir, ‘kalau di
Tanah Abang boleh, seluruh pasar di Jakarta boleh dong’,” kata Nirwono.