Jakarta, CNN Indonesia -- Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menegaskan, Komisi Pemberantasan Korupsi harus meminta persetujuan presiden terlebih dahulu sebelum memanggil Ketua DPR Setya Novanto sebagai saksi kasus korupsi e-KTP.
Hal ini merujuk pada putusan MK 76/PUU-XII/2014 yang menyatakan, pemanggilan terhadap anggota DPR terkait kasus hukum atau penyidikan harus melalui persetujuan tertulis presiden.
Namun ketentuan ini tidak berlaku apabila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman seumur hidup, dan disangka melakukan tindak pidana khusus seperti korupsi maupun terorisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Untuk SN (Setya Novanto) tergantung dia diminta keterangan sebagai apa. Kalau tersangka ya tentu berlaku pengecualian, tapi kalau saksi mestinya ada persetujuan dari presiden,” ujar Fajar kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (8/11).
Sesuai putusan MK, lanjut Fajar, persetujuan dari presiden penting untuk memastikan perlindungan hukum yang memadai sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Selain bagi anggota DPR, kata dia, persetujuan dari presiden juga berlaku untuk anggota MPR dan DPD yang akan diminta keterangan oleh penyidik.
“Tapi untuk kepala daerah, izin presiden sudah dipangkas MK. Jadi tidak perlu lagi,” katanya.
Pernyataan ini berbeda dengan keterangan Juru Bicara KPK Febri Diansyah yang menyatakan, Setnov tak pernah mempermasalahkan izin persetujuan presiden. Menurutnya, Setnov telah sembilan kali dipanggil sebagai saksi terkait kasus e-KTP dan tak pernah mempermasalahkan izin tersebut.
Pemanggilan itu dilakukan pada Desember 2016, Januari 2017, Juli 2017, dan September 2017.
"Totalnya sampai saat ini ada sembilan kali. Termasuk pernah dipanggil sebagai tersangka dua kali, namun tidak hadir," kata Febri beberapa waktu lalu.
Menurutnya, warga negara yang dipanggil sebagai saksi memiliki kewajiban hukum untuk memenuhi panggilan tersebut. Dia pun meminta para saksi, terutama penyelenggara negara memberikan contoh yang baik kepada masyarakat.
Sebelumnya, Setnov tak hadir dalam panggilan pemeriksaan KPK pada Senin (6/11). Alasannya, perlu ada izin Presiden sebelum memanggil Setnov sebagai anggota DPR. Hal itu tertuang dalam surat yang ditandatangani Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR Damayanti pada 6 November.
Surat itu merujuk Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17/2014 MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang berbunyi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden”.
(pmg/pmg)