Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto memastikan dirinya tak akan memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi hari ini, Rabu (15/11). Setnov sedianya bakal diperiksa sebagai perdana sebagai tersangka korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Kuas hukum Setnov, Fredrich Yunadi mengatakan, pihaknya masih menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Pasal 46 ayat (1) dan (2) serta Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang KPK.
Menurut Fredrich, selama belum ada putusan MK terkait uji materi UU KPK yang dirinya ajukan,
Setnov dipastikan tak akan menggubris surat panggilan dari penyidik lembaga antirasuah tersebut.
"Sambil menunggu hasil putusan MK terhadap JR (Judicial Review) yang diajukan. Putusan itu kan bisa iya, bisa tidak. Kalau iya berarti tidak perlu hadir selamanya. Kalau tidak, mau nggak mau harus tunduk pada hukum," tutur Fredrich lewat sambungan telepon.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk ketidakhadiran hari ini, lanjut Fredrich pihaknya sudah berkirim surat ke KPK. Surat yang ditandatangani oleh Fredrich dikirim pagi tadi. Fredrich pun meminta KPK menghormati keputusan yang diambil pihaknya.
Fredrich mengatakan, selain karena masih menunggu hasil uji materi UU KPK di MK, kliennya juga akan mengikuti agenda paripurna di DPR. "Beliau (Setnov) tidak bisa melalaikan tugas negara," kata Fredrich.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya telah menerima surat ketidakhadiran Setnov yang dikirim kuasa hukumnya. Surat yang dikirim kuasa hukum Setnov ini terdiri dari tujuh halaman, berisi poin-poin alasan tak dapat memenuhi panggilan pemeriksaan.
"Baru saja kami mendapat informasi, pagi ini diterima surat dari pengacara SN. Yang bersangkutan tidak dapat hadir," kata dia.
Menurut Febri, jika alasan ketidakhadiran Setnov karena menunggu uji materi di MK, maka hal tersebut tak sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang MK.
Bunyi Pasal 58 yakni, "Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."
"Dalam proses hukum, acuan yg digunakan adalah KUHAP, UU Tipikor dan UU KPK. Jadi sekalipun ada bagian dari UU tersebut yang diuji di MK, hal tersebut tidak akan menghentikan proses hukum yang berjalan," ujar Febri.
"Apalagi ada penegasan di Pasal 58 UU MK. Sehingga dalam penanganan kasus KTP elektronik ini, kami akan berjalan terus," katanya.
(sur)