Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa hukum Setya Novanto, Otto Hasibuan menyatakan bahwa kliennya sempat sakit perut saat diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun demikian, Setnov tetap menjawab semua pertanyaan penyidik terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP.
"Mungkin dia salah makan tadi malam, dia bilang sakit perut, walaupun begitu dia tetap ini (menjawab semua pertanyaan). Dia bilang mau selesaikan semua," kata Otto usai mendampingi Setnov di gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/11).
Otto mengatakan, ada sekitar 48 pertanyaan yang dilontarkan penyidik KPK. Menurut dia, kliennya telah kooperatif mengikuti pemeriksaan sebagai tersangka. Namun, Otto mengaku dirinya belum bisa mengetahui secara pasti apa yang tengah didalami penyidik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk itu saya bilang sampai saat ini saya belum bisa memprediksi ke mana arahnya ini sebenarnya," tuturnya.
Otto melanjutkan, pihaknya juga telah menyodorkan delapan nama untuk menjadi saksi meringankan dan ahli dalam penyidikan perkara kliennya. Sayangnya, dia tak mengingat nama-nama yang telah diserahkan ke penyidik KPK.
Otto menyebut, pengajuan saksi meringankan dan ahli ini diatur dalam Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Kami menggunakan hak itu dan KPK dengan senang hati menerima itu. Dan KPK akan memeriksa ahli dan saksi tersebut," kata dia.
Menurut Otto, delapan nama yang diajukan itu akan dipanggil penyidik KPK, namun dia tak mengetahui kapan waktu pemeriksaannya.
"Tentunya yang menentukan kapan itu akan diperiksa itu KPK. Kami hanya serahkan saja," ujar Otto.
Setnov sudah selesai menjalani pemeriksaan, baik oleh penyidik KPK maupun penyidik Polda Metro Jaya.
Untuk pemeriksaan oleh penyidik Polda Metro, Ketua Umum Partai Golkar nonaktif itu diperiksa sebagai saksi untuk kasus kecelakaan mobil.
Dalam kasus dugaan korupsi e-KTP, nama Setnov muncul dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Ia disebut mendapat jatah 11 persen dari nilai proyek e-KTP sebesar Rp574 miliar.
Ketua Umum nonaktif Partai Golkar itu juga disebut mengarahkan perusahaan pemenang proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut.
Setnov dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
(wis)