Jakarta, CNN Indonesia -- Ahli hukum pidana dari Universitas Padjadjaran Komariah Emong mengatakan, seseorang bisa ditetapkan kembali sebagai tersangka walau telah menang praperadilan sebelumnya. Pernyataan itu ia sampaikan saat memberikan keterangan dalam sidang praperadilan Ketua DPR nonaktif Setya Novanto.
“Praperadilan itu memeriksa formil seseorang ditetapkan tersangka. Setelah praperadilan, orang itu bisa ditetapkan tersangka kembali,” kata Komariah saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (12/12).
Komariah mengacu pada pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 2 ayat (3) Perma tersebut berbunyi:
Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.Dalam permohonan praperadilan ini, tim kuasa hukum Setnov mengatakan penetapan tersangka kliennya tidak sah lantaran sudah menang saat praperadilan pada September lalu. Menurut mereka berlaku
nebis in idem, yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Penjelasan tim kuasa hukum Setnov tertuang dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Pasal tersebut menjelaskan seorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang sama dan telah diputuskan oleh hakim yang menjadi berkekuatan hukum tetap.
Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menanyakan kepada Komariah mengenai asas
nebis in idem berlaku atau tidak di praperadilan. Komariah menjawab asas tersebut tidak berlaku di praperadilan.
“Itu berlaku kalau sudah masuk pokok perkara, praperadilan tidak membahas pokok perkara,” kata Komariah.
Diketahui, Setnov diduga melakukan korupsi bersama Anang Sugiana Sudiharjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman, dan Sugiharto. Setnov dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Ini kali kedua KPK menetapkan Setnov sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP. Sebelumnya, pada 17 Juli 2017, KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Setelah penetapan itu, Setnov selalu mangkir dari panggilan KPK dengan alasan sakit. Dia sempat dirawat di RS Siloam Semanggi, sebelum akhirnya dipindahkan ke RS Premier Jatinegara.
Novanto pun mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis Hakim Tunggal, Cepi Iskandar dalam amar putusannya menyatakan penetapan tersangka Setnov oleh KPK tidak sah. Dia pun bebas dari jerat hukum.
(osc/djm)