Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa hukum terdakwa korupsi e-KTP Setya Novanto, Maqdir Ismail, menolak mengajukan kliennya sebagai
justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
Maqdir mengatakan andai menjadi JC, maka Setnov harus mengungkap peran pihak lain. Itu, katanya, dikhawatirkan justru menjadi fitnah.
“Itu harus ada fakta, bukti, saksi. Saya kira kami tidak ingin menjadikan Pak Novanto sebagai bulan-bulanan tukang fitnah seperti sidang yang lain dulu,” ujar Maqdir usai sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, Maqdir memastikan kliennya akan menyampaikan informasi yang dibutuhkan jika memang ada fakta yang mendukung.
“Harus ada fakta pendukung yang menerangkan kebenaran apa yang disampaikan Pak Novanto,” katanya.
Di sisi lain, Maqdir menyatakan, akan mempersiapkan diri menghadapi pemeriksaan pokok perkara pascaputusan sela majelis hakim yang menolak seluruh poin eksepsi. Atas dasar itu, dalam persidangan selanjutnya, Maqdir mengatakan akan menghadirkan sejumlah saksi guna meringankan Setnov.
“Saksi-saksi yang menguntungkan akan kami hadirkan begitu juga dengan ahli-ahli,” ucapnya.
Dikonfirmasi terpisah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tetap membuka pintu bagi Setnov untuk menjadi
justice collaborator.
"Jika terdakwa memiliki iktikad baik menjadi JC silakan ajukan ke KPK. Tentu dipertimbangkan dan dipelajari dulu," kata juru bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi lewat aplikasi pesan, Kamis (4/1).
 Febri Diansyah. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma) |
Sejauh ini, tiga terdakwa korupsi e-KTP, yakni mantan dua pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto serta pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong telah menjadi justice collaborator dalam kasus yang ditaksir merugikan negara hingga Rp2,3 triliun itu.
Permohonan mereka menjadi justice
collaborator diterima pimpinan KPK dan dikabulkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ketiga terdakwa itu juga membantu lembaga antirasuah untuk mengungkap keterlibatan pihak lain yang lebih besar.
Merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011,
justice collaborator didefinisikan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama. Ia dibedakan dengan pelapor tindak pidana (
whistle blower).
Seorang
whistle blower adalah pelapor yang bukan bagian dari pelaku kejahatan yang diperkarakan. Sementara JC merupakan salah satu pelaku tindak pidana yang mengakui keterlibatannya dan memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Berkaca pada itu, Febri menyatakan, andai seseorang ingin menjadi JC, maka ia harus mengakui perbuatannya dan kooperatif saat diperiksa untuk membuka keterlibatan pihak lain dalam kasus korupsi yang menjeratnya. Namun, status
justice collaborator tak bisa diberikan kepada pelaku utama korupsi.
"Jadi silakan ajukan saja. Nanti akan dinilai siapa pelaku lain yang lebih besar yang diungkap," kata Febri menambahkan.
Menurut Febri, jika Setnov menjadi
justice collaborator akan menguntungkan yang bersangkutan soal tuntutan hukuman pidana.
Setnov didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara.
"Memang jika menjadi JC maka ancaman hukuman penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun ini dapat diturunkan nanti, jika memang JC dikabulkan," ujarnya.
Pagi tadi Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menolak seluruh poin eksepsi tim kuasa hukum Setnov. Dengan demikian, persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi pada 11 Januari mendatang. Rencananya sidang pemeriksaan saksi untuk terdakwa Setya Novanto akan digelar dua kali dalam seminggu untuk mempersingkat waktu.
(kid/djm)