Jejak Digital dan 'Ahok-isasi' Azwar Anas Jelang Pilgub Jatim

Ramadhan Rizki Saputra | CNN Indonesia
Sabtu, 06 Jan 2018 17:40 WIB
Jejak digital politikus rentan dijadikan senjata oleh lawan politik untuk menjatuhkannya. Parpol diminta untuk menyeleksi lebih ketat.
Bupati Banyuwangi Azwar Anas, di Jakarta, 2016. Ia diserang dengan kampanye hitam yang memanfaatkan jejak digitalnya yang terkait isu moralitas. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Panasnya isu penyebaran foto-foto intim bakal calon wakil gubernur Abdullah Azwar Anas jelang Pemilihan Gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) 2018 disebut sebagai pengulangan pola kampanye hitam seperti yang pernah menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat Pilgub DKI 2017 lalu.

Pengulangan pola itu terlihat dengan dilakukannya pemanfaatan dunia maya dan media sosial jelang Pilkada digelar.

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Muradi menjelaskan, beda kedua kasus itu hanyalah soal tema isu yang diusung. Kasus kampanye hitam terhadap Ahok membawa isu agama dan etnis, sementara Azwar diterpa isu moralitas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kondisi Anas itu sama seperti kasus Ahok di Jakarta. Kalau di Jakarta kan yang dimanfaatkan semangat etnik atau agama. Sekarang di Jawa Timur itu yang dimunculkan isu moralitas publik. Kondisi itu yang mau diharu-birukan seperti kasus di Jakarta," ujar Muradi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (6/1).

Diketahui, Ahok menuai kontroversi besar saat menjelang Pilgub DKI 2017 akibat pidatonya di Kepulauan Seribu yang diunggah di dunia maya. Video itu kemudian disunting dan ditambahkan teks oleh seorang warganet, Buni Yani. Hal itu membuat Ahok diserang dengan isu penistaan agama dan kebencian terhadap etnis yang berujung pada kekalahan di Pilgub DKI.

Muradi melanjutkan, kasus-kasus ini tak lepas dari adanya jejak digital para politikus yang berkaitan dengan cela di masa lalu, termasuk cela dalam hal moralitas. Dosa-dosa masa lalu ini sangat rawan dimanfaatkan sebagai strategi lawan untuk menjatuhkan politikus bersangkutan. Metode kampanye hitam, aku Muradi, memang salah satu cara efektif untuk menghancurkan lawan politik.

Muradi menjelaskan, jejak digital yang berkaitan dengan moralitas itu tak hanya bisa merusak reputasi, namun dapat dipastikan akan menggerus perolehan suara saat mengikuti kontestasi politik, baik Pileg, Pilkada maupun Pilpres mendatang jika para politisi tak berhati-hati dalam mengelola jejak digitalnya.

"(Jejak digital) berpotensi menjadi kampanye hitam itu pasti, jadi jejak digital itu akan menjadi salah satu isu yang dimainkan untuk black campaign lawan politiknya," ujar dia.



Bahaya jejak digital ini juga pernah diperingatkan oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung melalui akun Twitter, pada Jumat (5/1).

"Bagi siapapun yg pengen jabatan politik, dan harus ikut berkompetisi dlm pilihan, hati2 dengan sampah digital yg berkaitan dgn tindakan moralitas akan tersimpan dengan rapi dan akan dikeluarkan pada saat yg tepat #BOMSampahDigital #SekedarInfo," tulisnya.

Muradi melanjutkan, penggunaan jejak di dunia maya hanyalah salah satu metode kampanye hitam. Kampanye hitam ini sendiri merupakan salah satu bentuk strategi menyerang lawan politik dengan jalan yang cenderung tidak beretika.

Strategi lainnya adalah kampanye negatif atau negative campaign. Bedanya, strategi kampanye negatif itu berbasis pada riset dan kebenaran. Contohnya, mengkritisi program atau kebijakan politik.

"Namun, keduanya memiliki persamaan, pasti menggerus suara," imbuh dia.

Terpisah, pengamat politik dari Exposit Strategic Arif Sutanto memaklumi jika para kandidat berupaya untuk mengungkap kelemahan-kelemahan lawan politiknya untuk meraih kekuasaan. Salah satunya, melalui penelusuran jejak digital yang negatif dari para pesaingnya.

"Di tengah persaingan yang ketat tentu para kandidat berupaya untuk mengungkap kelemahan-kelemahan lawan politiknya, terlebih lagi publik sendiri yang berusaha untuk menemukan calon pemimpin dengan tingkat keburukan yang minimal," ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (6/1).

Menanggapi kampanye hitam itu, Arif menyebut bahwa politikus biasanya defensif dengan menampiknya, bersikap apologetik atau membela diri, serta mengabaikannya hingga isu mereda dengan sendirinya.

Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memasuki ruang sidang untuk menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (29/3). Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, di PN Jakarta Utara, Jakarta, Rabu (29/3). Ia divonis bersalah dalam kasus penodaan terhadap agama yang dipicu oleh rekaman videonya di dunia maya. (Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.)

Seleksi Digital


Terlepas soal perdebatan kampanye hitam, Muradi menyarankan agar parpol mengantisipasi jejak digital para kandidat yang hendak diusungnya di semua jenjang Pemilu.

Bentuk antisipasinya, pertama, penelusuran rekam jejak digital terhadap kandidat pemimpin jelang momentum kontestasi politik, meskipun calon tersebut termasuk politikus yang populer.

"Parpol terutama jangan terlalu silau dengan kandidat yang punya potensi itu. Mereka bisa melakukan crosscheck dan rekam jejak dulu, ada screening, jika ada kandidat atau figur yang dianggap punya potensi di masa lalunya yang kurang baik," jelas dia.

Kedua, penerapan standar moral dan standar etika, di samping elektabilitas dan prestasi kandidat yang akan diusung. Sebab, aku Muradi, banyak kepala daerah yang memiliki prestasi namun kapasitas moralnya diragukan.

"Memang kadang-kadang antara prestasi dan moral belum tentu segaris lurus. Moralnya bejat tapi prestasinya bagus itu banyak. Paling baik mempertimbangkan kandidat yang memiliki moralnya baik itu juga dipertimbangkan," kata dia.

Ketiga, kaderisasi terhadap para anggotanya. Keuntungannya, parpol bisa memantau dan mengukur etika dan moral para kadernya dengan baik sejak awal menjadi kader.

"Selama ini kan yang dimunculkan orang-orang populis yang ‘kemasannya’ saja baik, tapi di luarnya tidak lebih baik dibanding kadernya sendiri yang ada, secara moral tentunya," ucap dia.

Tak lupa, Muradi dan Arif pun meminta agar para politikus bisa menjaga standar moral dan standar etika. Sebab, posisi pemimpin seharusnya menjadi teladan bagi warganya.

"Harus menjaga perilaku dan moralnya, karena pemimpin itu punya grade diatas ya. Dia populis iya, tapi dia harus punya grade moral dan etika dibandingkan warga biasa, kemudian dia dijadikan panutan," tandas dia. (arh/osc)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER