Jakarta, CNN Indonesia -- Upaya penggusuran lahan untuk pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport atau Bandara Internasional Kulon Progo kembali berujung ricuh antara aparat dengan warga.
Sebanyak sepuluh penolak mengalami cedera, dan tiga relawan ditangkap kepolisian.
"Mestinya ini urusan antara Angkasa Pura I dengan warga, bukan aparat (polisi, satpol PP, dan TNI) dengan warga. Polisi selayaknya menjadi pihak penengah yang mengamankan, bukan memprovokasi dengan mengacungkan jari tengah dan melakukan pemukulan terhadap warga dan relawan," cetus Heron, salah satu relawan Aliansi Tolak Bandara (ATB), saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (9/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui, Selasa (9/1) pagi merupakan batas akhir bagi warga di Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulon Progo, DIY, untuk mengosongkan lahan milik mereka.
Pengosongan lahan secara paksa ini bermula sekitar pukul 10.15 WIB setelah aparat melakukan apel. Alat berat kemudian mulai merobohkan pohon dan tegalan milik warga, setengah jam kemudian.
Pada 11.15 WIB, mulai terjadi upaya saling mendorong antara warga dengan aparat. Salah satu aparat kemudian megacungkan jari tengah dan mengarahkannya ke arah warga. Hal ini diduga memicu amarah warga. Aparat semakin represif dengan mendorong dan memukul warga dan relawan.
"Relawan dijambak, diseret, kepalanya dipojokan, dan berujung pada tindakan menjatuhakan badan serta menginjak dengan sepatu. Tidak hanya itu, relawan kemudian dibangunkan dan ditonjok di bagian kepala hingga memar dan berdarah." tutur Heron.
Situasi semakin tidak kondusif, ketika aparat mengejar dan menangkap relawan yang dianggap menghalangi proses pembangunan Bandara, sejak Pukul 11.45 WIB. Menurut Heron, ada tiga relawan yang dikejar, diseret, ditangkap, dan dibawa ke Polres Temon.
"Mereka adalah Heidar, Rozak, dan Zaki," ungkapnya.
Menurutnya, ada 10 korban luka-luka akibat pemukulan dalam kericuhan itu. Termasuk dirinya. Tiga di antaranya adalah warga Desa Gladah, yakni Ibu Ponirah, Arif, dan Sumiyo. Tujuh korban lainnya, kata dia, selain dirinya, adalah Wahyu Tri, Sri Antoro, Medi, Rozak, Zaki, Haidar.
Saat dikonfirmasi, Kepala Bidang Humas Polda DIY AKBP Yulianto menepis jatuhnya korban atau adanya kekerasan dalam penggusuran itu.
"Kekerasan kepada siapa? Oleh siapa? Di mana? Kapan? Supaya bisa saya lakukan pengecekan kebenaran berita tersebut. Jangan sampai itu isu lama." kilahnnya. "Tidak ada warga yang terluka, jadi ya enggak ada kekerasan kepada warga." tambah dia.
Yulianto membenarkan adanya tiga relawan yang diamankan ke Polres Temon untuk dimintai keterangan. Mereka diduga telah melakukan provokasi terhadap warga agar menolak penggusuran lahan milik mereka.
"Selesai pemeriksaan dilakukan, kami akan memulangkan ketiga relawan tersebut." tandasnya.
Kericuhan dan penangkapan warga dan relawan dalam upaya penggusuran lahan ini berulang kali terjadi.
Upaya ini dilakukan sejak 27 November oleh pihak Angkasa Pura I selaku operator proyek dengan didampingi kepolisian. Sebab, masih ada puluhan aset, baik rumah maupun lahan yang dimiliki warga penolak bandara.
Pihak AP I mendasarkan upaya pengosongan rumah itu pada putusan Pengadilan Negeri Wates tentang ganti rugi rumah milik warga melalui proses konsinyasi. Sementara, warga memandang konsinyasi tidak sah karena harus mendapat persetujuan warga.
(arh/djm)