Dua Hakim MK Beda Pendapat soal Ambang Batas Presiden

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Kamis, 11 Jan 2018 15:21 WIB
Pendapat berbeda dari dua Hakim MK menyatakan, ambang batas presiden tidak adil bagi parpol baru dan rancu dalam sistem pemerintahan.
Ilustrasi sidang Mahkamah Konstitusi. MK memutuskan untuk menolak gugatan soal ambang batas presiden sebesar 20 persen. Dua Hakim MK berbeda pendapat. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Meski Mahakmah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold (PT) sebesar 20 persen, dua dari sembilan Hakim Konstitusi berbeda pendapat dengan putusan itu atau dissenting opinion, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo.

Keduanya menyoroti soal ambang batas yang memberikan ketidakadilan pada partai politik (parpol) baru yang tak bisa mengajukan calon presiden-wakil presiden dan kerancuan sistem presidensial dan parlementer.

Hakim Suhartoyo mengatakan, ketentuan PT 20 persen itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E, 27, dan 28 UUD 1945 yang semestinya menjamin hak yang sama kepada setiap partai politik peserta pemilu yang mengajukan capres dan cawapres.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, penentuan PT 20 persen merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy yang menjadi kewenangan DPR sebagai pembentuk UU.

“Setiap parpol peserta pemilu semestinya memiliki hak untuk mengajukan atau mengusulkan pasangan capres-cawapres,” ujar hakim Suhartoyo, saat membacakan pertimbangan di ruang sidang MK, Kamis (11/1).

Selain itu, ia menilai penggunaan hasil Pemilu Legislatif untuk menentukan ambang batas pencalonan Presiden dan Wapres akan merusak logika sistem presidensial.

Hakim Suhartoyo menjelaskan, dalam sistem presidensial mandat rakyat diberikan secara terpisah, masing-masing kepada legislatif dan eksekutif. Sementara, jika menggunakan hasil pemilu legislatif untuk menentukan ambang batas di eksekutif merupakan pemerintahannya memiliki sistem parlementer.

“Artinya, mempertahankan ambang batas dalam proses pengisian jabatan eksekutif jelas memaksakan logika dari sistem parlementer ke presidensial,” terang dia.

Pada kesempatan yang sama, Hakim Kontitusi Saldi Isra mengatakan, penetapan ambang batas ini juga tak memberi kepastian bagi parpol peserta pemilu.

Sebab, tak ada jaminan bagi parpol peserta pemilu 2019 yang berasal dari parpol peserta pemilu 2014 dapat memiliki jumlah kursi atau suara sah yang sama dengan hasil pada pemilu 2014.

“Argumentasi (soal PT 20 persen) itu sulit dipertahankan karena dinamika politik dari pemilu ke pemilu berikutnya sangat mungkin berubah secara drastis,” kata dia.

Ia menilai, ketentuan ambang batas ini tidak adil karena membuat parpol baru peserta pemilu tak bisa mengajukan pasangan capres-cawapres. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada referensi masyarakat terhadap calon pemimpinnya.

“Dengan menghapus ambang batas ini, maka jumlah capres-cawapres pada pemilu 2019 akan lebih beragam daripada pemilu 2014,” tuturnya.

(arh/djm)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER