Jakarta, CNN Indonesia -- Fenomena mahar politik di Indonesia diinilai biasa terjadi, terutama pada bakal calon yang tingkat keterpilihannya rendah. Namun hal ini tak berlaku pada bakal calon yang elektabilitasnya tinggi.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, partai politik bahkan akan datang untuk merayu bakal calon yang punya peluang besar menang agar mau diusung.
“Justru partai politik yang berduyun-duyun ingin melamar,” kata Adi kepada
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Minggu malam (14/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mahar politik mengemuka dalam beberapa hari terakhir setelah La Nyalla Mattalitti mengaku dimintai uang Rp40 miliar oleh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. La Nyalla merasa uang tersebut terkait dengan pencalonannya di Pilkada Jawa Timur.
Adi menilai, apa yang dikatakan La Nyalla meski sudah dibantah Gerindra, mungkin saja terjadi.
Menurutnya, jika La Nyalla memang belum berkorban, tak mungkin mantan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) ini, demikian kecewa dan bicara di depan media.
“Sampai Gerindra gelagapan menyanggah sana sini,” ujarnya.
Praktik mahar politik, kata Adi, biasa terjadi namun jarang terungkap ke publik karena sudah ada kesepakatan antara bakal calon dengan partai politik pengusung. Namun kadang yang terjadi, ada juga kesepakatan pribadi bakal calon dengan oknum anggota partai politik.
Terkait kasus La Nyalla dan Gerindra, Adi menilai wajar saja jika partai berlambang Garuda itu mengubah keputusannya di saat-saat akhir meski sebelumnya sudah mewacanakan akan mengusung atau bahkan La Nyalla sudah berkorban sesuatu. Keputusan politik menurutnya sangat dinamis.
“La Nyalla seakan-akan tidak mengerti politik. Hal-hal begitu kan biasa. La Nyalla harus paham dinamika politik, pilihan bisa berubah di detik-detik akhir sekali pun sudah banyak uang operasional keluar,” kata Adi.
Uang Rp40 miliar jika dilihat untuk kebutuhan operasional sebuah pilgub, juga menurutnya terbilang kecil.
“Kalau operasional politik cagub, Rp40 M itu enggak ada apa-apanya. Minimal Rp300 sampai Rp400 miliar,” kata Adi.
Dana operasional itu dibutuhkan untuk membuat posko-posko dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan hingga kecamatan. Selain itu, dibutuhkan pula kendaraan untuk keperluan operasional. Belum lagi honor saksi di ribuan tempat pemungutan suara (TPS).
La Nyalla bahkan menyataka sudah memperkirakan untuk saksi di Pilgub Jatim saja butuh sekitar Rp28 miliar untuk di 68 ribu TPS.
“Yang membuat heboh ini 40 miliar untuk mahar,” katanya.
Ancaman PidanaPernyataan La Nyalla tersebut ditanggapi serius oleh penyelenggara Pemilu. Komisioner Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan pihaknya bakal memanggil La Nyalla untuk minta klarifikasi.
“Pekan depan Bawaslu Jatim akan panggil Pak La Nyalla. Kami minta klarifikasi pernyataan beliau biar lebih
clear bahwa itu benar atau hoax. Jangan sampai pernyataan itu hoax dan dibiarkan begitu saja kemudian mencoreng dan menuduh Pak Prabowo,” kata Rahmat akhir pekan lalu di Jakarta.
Sebelumnya, Rahmat menjelaskan bahwa pihaknya tetap dapat mengusut dugaan mahar politik tersebut meski La Nyalla tidak mendaftar sebagai calon kepala daerah ke KPU Jawa Timur.
Menurutnya, pengusutan bisa dilakukan karena permintaan mahar diduga terjadi saat proses pencalonan kepala daerah. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Pasal 47 ayat (1) dan (4).
 La Nyalla Mattalitti mengaku dimintai uang Rp40 miliar untuk Ketua Umum Prabowo Subianto terkait pencalonan di Jawa Timur. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
“Di undang-undang dikatakan dalam proses pencalonan. Jadi, mendaftar atau tidak, bisa (diusut) karena katanya diminta saat proses pencalonan,” ucap Rahmat kepada CNNIndonesia.com, Sabtu malam (13/1).
Rahmat menjelaskan, apabila Bawaslu Jatim tidak menemukan bukti bahwa Gerindra meminta uang, maka La Nyalla yang berpotensi dijerat pasal dalam pidana umum. Itu dapat terjadi karena La Nyalla telah mencoreng nama baik Gerindra, khususnya Prabowo.
Selanjutnya kepolisian yang berwenang menindaklanjuti. Bawaslu tidak dapat melanjutkan pengusutan karena Bawaslu hanya mengurusi kasus pidana pemilu, bukan pidana umum.
“Kalau tidak terbukti, maka itu juga bentuk klarifikasi bahwa Gerindra tidak bermain poliitik uang,” kata Rahmat.
Namun apabila Gerindra, khususnya Prabowo terbukti meminta sejumlah uang kepada La Nyalla, Rahmat belum mau mengatakan apa sanksi yang akan diberikan. Dia masih belum mau membeberkan karena La Nyalla tidak mendaftar sebagai calon gubernur yang diusung Gerindra. Apabila La Nyalla mendaftar sebagai calon yang diusung Gerindra, maka pencalonannya itu dibatalkan.
“Akan menjadi catatan kami,” tutur Rahmat.
Sebelumnya, La Nyalla mengaku tidak jadi memberi uang sesuai dengan yang diminta Prabowo sebesar Rp40 M. Berdasarkan keterangannya itu, maka tidak ada pihak yang memberi dan tidak ada yang menerima.
Akan tetapi, jika Bawaslu menemukan transaksi dalam proses pencalonan selain yang diceritakan La Nyalla, Rahmat mengatakan ada ancaman pidana. Hukuman itu bisa menjerat La Nyalla sebagai pemberi dan kader Gerindra sebagai penerima. Ancaman pidana itu pun tetap dapat menjerat meski La Nyalla tidak mendaftarkan diri sebagai calon gubernur sekali pun, karena transaksi dilakukan dalam proses pencalonan.
“Harus masuk polisi, harus masuk kejaksaan, pengadilan,” ucap Rahmat.
Pernyataan Rahmat tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pada pasal 187B disebutkan,
‘Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).’
Kemudian pada pasal 187C tercantum,
‘Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota atau Wakil Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).’Sebelumnya, La Nyalla mengatakan bahwa orang yang meminta uang saksi sebesar Rp40 M adalah Prabowo.
Meski La Nyalla menuturkan demikian, Rahmat tidak ingin menduga Prabowo menerima uang selain Rp40 M yang tidak jadi diberikan La Nyalla. Dia juga tidak ingin mengatakan Prabowo terancam hukuman pidana jika nanti terbukti menerima uang dari La Nyalla. Rahmat hanya ingin menunggu hasil pemeriksaan terhadap La Nyalla terlebih dulu.
“Kami lihat lah buktinya, enggak bisa berandai-andai,” kata Rahmat.
(sur)