Surabaya, CNN Indonesia -- Wilayah Ponorogo, Jawa Timur, yang sebagian besar dikelilingi pegunungan dan perbukitan membuat bumi reog rawan terhadap bencana, mulai dari tanah retak, longsor sampai banjir. Namun sayangnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ponorogo hanya memiliki enam alat pendeteksi bencana yang terdiri dari empat alat pendeteksi longsor dan dua alat pendeteksi banjir.
Kabid Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Ponorogo, Setyo Budiono saat dihubungi menuturkan keenam alat tersebut masih berfungsi dengan baik. "Semuanya masih berfungsi bahkan saat ada ancaman bencana semuanya bisa bunyi," tuturnya, Senin (15/1).
Budi sapaannya menjelaskan alat pendeteksi longsor atau extensometer terpasang di empat kecamatan yakni Sawoo, Ngebel, Slahung dan Pulung. "Keempat wilayah tersebut beberapa tahun yang lalu tanahnya sempat mengalami pergerakan hingga menyebabkan longsor dan menimbun rumah warga," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan dua alat pendeteksi banjir atau Early Warning System (EWS), lanjut Budi, terpasang didua titik sungai yang disinyalir jadi penyebab banjir. "Untuk alat EWS ini kami bekerja sama dengan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo," ucapnya.
Namun untuk wilayah Ponorogo alat pendeteksi bencana yang ada belum cukup ideal. "Minimal 10, seharusnya," ujarnya.
Hal tersebut tak lepas dari fakta bahwa selama tahun 2017 kemarin Ponorogo sempat mengalami musibah yang mengerikan bencana longsor yang terjadi di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Ponorogo yang menimbun 28 orang serta puluhan rumah warga. "Seharusnya di sana juga dipasang alatnya, namun karena belum ada sementara kami masih mengandalkan laporan warga," katanya.
Saat ini pihak BPBD masih terus melakukan koordinasi dengan SDM untuk permintaan alat pendeteksi bencana. "Kami masih koordinasi untuk itu, semoga segera ada alatnya," ucapnya.
Bagi dia, dengan adanya alat tersebut setidaknya bisa menyelamatkan warga sesaat sebelum terjadi bencana. "Extensometer itu kalau ada pergeseran tanah satu meter saja sudah bunyi meraung-raung," ujarnya.
Sedangkan untuk EWS juga seperti itu, ada tiga tanda yang menunjukkan tingkat kebahayaan. Ada warna hijau, kuning dan merah.
"Kalau sudah merah, alatnya juga bunyi bahkan pernah masih di tanda kuning sudah meraung-raung alatnya, warga pun diminta mengungsi sebelum banjir datang ke pemukiman," katanya.
Hanya saja tiap kali musim kemarau, alat-alat tersebut kurang berfungsi dengan baik. "Biasanya dikerubungi semut kalau musim kemarau, tapi kalau musim hujan aman," ujarnya.
(osc/dik)