Jakarta, CNN Indonesia -- Salah satu penyebab timbulnya gizi buruk pada anak di Agats, Kabupaten Asmat, Papua, adalah cacingan. Hal itu ditemukan pada sejumlah pasien gizi buruk yang ditangani tim dokter dari Kementerian Kesehatan.
Dr. Ratri SpGK., salah satu dokter spesialis dari Kemenkes di Asmat, mengatakan bahwa cacingan pada anak menjadi penyebab minimnya gizi yang diserap tubuh. Sebab, nutrisi makanan diambil oleh cacing.
"Ada beberapa pasien gizi buruk yang disertai cacingan," kata dia, melalui keterangan resmi Biro Komunikasi dan pelayanan Masyarakat Kemenkes, Sabtu (20/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk menanganinya, Kemenkes melakukan program penatalaksanaan gizi, rehidrasi, pemberian multivitamin dan obat cacing.
Selain itu, pemberian nutrisi yang tepat dan sesuai menjadi langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan berat badan anak dengan status gizi buruk di Asmat.
Melalui metode ini, diharapkan anak dengan status gizi buruk mengalami peningkatan berat badan sedikitnya rata-rata 5 sampai 10 gram per kilogram per hari.
"Sedikitnya, dibutuhkan waktu sekitar 9 sampai 10 hari untuk memantau kemajuan berat badan," ujar Ratri.
Penanganan balita gizi buruk ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama, fase stabilisasi, yakni saat menjalani rawat inap periode 1-2 hari pertama. Bentuknya, pemberian formula dari Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).
Tahap kedua, fase transisi, atau pada masa rawat inap tujuh hari berikutnya. Penanganan dilakukan dengan pemberian Formula F100.
"Sehingga, dibutuhkan waktu sekitar 10 hari perawatan jika tidak ada hambatan," imbuh dia.
Tahap ketiga, fase rehabilitasi. Ratri menyebut, fase ini dilakukan di lingkungan keluarga. Pasalnya, setelah fase transisi balita gizi buruk meningkat statusnya menjadi gizi kurang. Pada fase ini, balita bisa dipulangkan.
Meski begitu, pada fase rehabilitasi ini keluarga harus tetap melakukan perbaikan gizi anak dengan kontrol dari petugas puskesmas setempat. Orang tua juga diharapkan memberikan makanan tambahan dengan nilai gizi yang sesuai untuk meningkatkan statusnya menjadi gizi baik.
Misalnya, pemberian sumber protein penting, seperti ikan dan kacang hijau, atau menyesuaikan dengan ketersedian pangan setempat.
Untuk pengolahannya, Ratri menyarankan, sumber protein itu diolah dengan cara direbus, bukan digoreng, agar kandungan protein tetap terjaga.
"Jadi kebiasaan mereka di sini itu, dia (anak) dikasih nasi dan kuah ikan. Tapi kita tidak tahu apa karena faktor kemampuanya atau ketidaktahuan mereka," tutup dia.
Sebelumnya, wabah campak dan gizi buruk dikabarkan melanda Kabupaten Asmat. Banyak anak meninggal dunia dan lainnya dirawat di rumah sakit. Kemenkes kemudian menurunkan tim dokter spesialis ke area ini.
(arh)