Jakarta, CNN Indonesia -- Hasil survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan Partai Golkar menjadi satu-satunya partai yang trennya naik lebih dari satu persen dalam periode Desember 2017-Januari 2018.
Akhir tahun lalu, 13,8 persen koresponden memutuskan memilih Golkar jika pemilihan legislatif dilakukan saat itu. Angka itu meningkat menjadi 15,5 persen tahun ini.
Pengamat Komunikasi Politik Hendri Satrio berpendapat, hal itu terjadi karena saat ini Golkar benar-benar 'dekat' dengan Presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Golkar ini
image-nya sekarang sudah didekatkan dengan Jokowi. Hingga saat ini sosok calon presiden paling kuat Jokowi," ujar Hendri kepada
CNNIndonesia.com.
Kedekatan Golkar dengan Jokowi mulali terlihat sejak Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum Partai Golkar, menggantikan Setya Novanto yang tersandung perkara korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP).
Kemudian masuknya Sekretaris Jenderal Golkar saat itu Idrus Marham menjadi Menteri Sosial menggantikan Khofifah Indar Parawansa yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur 2018.
Kedekatan dinilai semakin terlihat ketika Jokowi 'mempertahankan' Airlangga di Kabinet Kerja. Dia saat ini menjadi satu-satunya pembantu presiden yang merangkap jabatan sebagai ketua umum partai.
Hal serupa disampaikan Ahli Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk. Menurutnya, hal yang terjadi kepada Golkar wajar terjadi karena sistem personalisasi politik di Indonesia. Pesona tokoh publik sepeti Jokowi bisa mengerek popularitas partai politik.
"Betul kemarin Golkar turun sedikit karena tergoncang macam kasus, kemudian Airlangga naik dan mengusung Jokowi dan dia punya efek elektoral. Artinya pesona Jokowi saat ini masih tinggi," kata Hamdi.
Menurutnya, penguatan popularitas bisa dirasakan partai politik lain apabila menemukan tokoh yang populer di masyarakat. Hamdi menilai, mengedepankan program dan ideologi guna mengikat pemilih di Indonesia tidak begitu berhasil ketimbang popularitas.
"Basis ideologi menjadi bentuk platform dan kebijakan partai itu kabur di masyarakat. Orang hanya meilhat sosok. Hari ini Indonesia memang semakin mengarah ke personalisasi politik," Hamdi menjelaskan.
Menurutnya, hal ini merupakan alarm buruk bagi perpolitikan Indonesia sebab ideologi dan identitas partai semakin kabur dan sulit dibedakan satu dengan yang lain karena personalisasi politik. Tetapi, hal itu akan sulit dihentikan jika partai politik masih banyak dan terus bertambah.
Di sisi lain, ia menyatakan pilkada menjadi ajang taruhan kemenangan partai dalam pemilihan legislasi serta pemilihan presiden tahun depan. Popularitas diyakini meningkat jika mampu menempatkan tokoh berkualitas di daerah.
"Kalau partai mengaitkan dengan tokoh yang sedang naik maka bisa mengerek popularitas dan elektabilitas partai. Jadi partai berlomba mendukung tokoh yang laku di masyarakat, ideologinya cocok itu urusan belakangan," kata Hamdi.
(osc/gil)