Jakarta, CNN Indonesia -- Rangkap jabatan menteri di era kabinet Presiden Joko Widodo jadi perdebatan publik. Jokowi dinilai sedang menerapkan standar ganda untuk memperkuat jalur politik sekaligus teknokrasinya jelang pemilu 2019.
Hal itu terjadi ketika Jokowi kembali menunjuk Koordinator Bidang Kelembagaan DPP Golkar Idrus Marham sebagai Menteri Sosial menggantikan Khofifah Indar Parawansa yang maju sebagai Cagub di Pilkada Jatim 2018.
Sebelum Idrus, Jokowi juga telah memberi kesempatan bagi Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto untuk menjadi Ketua Umum Golkar. Airlangga merangkap jabatan menggantikan mantan Ketum Golkar Setya Novanto yang tersangkut korupsi proyek e-KTP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya kedua nama itu, Nusron Wahid yang kini menjabat sebagai Kepala BNP2TKI juga mengemban tugas sebagai Ketua Koordinator Pemenangan Pemilu Golkar di Wilayah Jawa dan Kalimantan.
Rangkap jabatan pada satu sisi tidak dilarang dalam ketentuan perundangan atau aturan lain. Namun, menjadi masalah ketika pada masa kampanye pilpres 2014, Jokowi melarang menterinya menjadi ketua umum atau petugas struktural partai.
Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati menilai, rangkap jabatan yang kini terjadi merupakan bagian dari strategi politik Jokowi.
Mantan Wali Kota Solo ini dianggap tengah membangun strategi standar ganda agar posisinya tetap aman di sisa masa jabatannya sebagai presiden sekaligus mempersiapkan pilpres 2019.
Jokowi, kata Mada, saat ini sudah mulai memecah konsentrasinya, tidak lagi sekedar merealisasikan program pembangunan tapi juga bersiap menjadi capres mengingat masa pendaftaran semakin dekat.
“Kalau istilahnya, ini tahun Pak Jokowi melakukan
double track strategy, yakni memperkuat jalur politik dan jalur teknokrasinya,” ujar Mada kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (24/1).
Mada menuturkan, tindakan Jokowi membiarkan rangkap jabatan tidak lepas dari sistem politik Indonesia yang presidensial, di mana legislatif yang terdiri dari partai politik berpengaruh pada eksekutif.
Dengan sistem tersebut, Jokowi tidak mungkin mampu mempertahankan idealismenya menolak rangkap jabatan demi alasan agar anak buahnya di jajaran menteri fokus melaksanakan program kerja.
Oleh karena pada saat yang bersamaan, Jokowi harus mengakomodasi kepentingan partai yang mendukungnya sebagai bakal calon presiden.
“Jadi memang sulit bagi bagi Pak Jokowi tidak melakukan itu (rangkap jabatan). Karena ini kebutuhan praktis dan kebutuhan rill,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla didampingi Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto saat pembukaan munaslub di Jakarta. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto) |
Airlangga dan Idrus dibiarkan merangkap jabatan, kata Made, tak lepas dari perolehan kursi Golkar di parlemen yang mencapai 91 kursi. Dengan jumlah sebanyak itu, Jokowi semakin berpeluang mendaftar sebagai capres di pilpres 2019 jika mampu menjaga keberadaan Golkar di kabinet.
Dalam konstelasi pilpres 2014, Jokowi mendapat dukungan dari Koalisi Indonesia Hebat, yang terdiri dari PDIP 109 kursi, PKB 47 kursi, NasDem 35 kursi, dan Hanura 16 kursi. Selain Golkar, PAN dan PPP juga masuk ke dalam kabinet era Jokowi meski sempat bersama Golkar mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Tak hanya itu, friksi di internal Golkar, yakni antara kubu Airlangga dan Setnov juga membuat Jokowi kian sulit jika tidak mengakomodasi kedua pihak tersebut. Jokowi tampak khawatir jika polemik Golkar terus berlanjut maka akan berdampak pada kekuatan politiknya ke depan.
“Mengakomodasi Pak Idrus dan Pak Airlangga itu menunjukkan ada friksi di internal Golkar. Sehingga Pak Jokowi tidak mudah kalau hanya mengakomodir satu itu saja,” ujar Mada.
Di sisi lain, Mada menilai, menganakemaskan Golkar juga bagian dari cara Jokowi melepas diri dari genggaman PDIP. Jokowi seolah tidak ingin terus dianggap sebagai petugas partai oleh PDIP.
Sebagai sosok yang mendapat dukungan banyak partai, Jokowi ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak dapat didikte oleh salah satu partai saja.
“PDIP masih terus meningkatkan bargaining posisinya, yakni menganggap Jokowi sebagai petugas partai. Pada satu sisi, Pak Jokowi juga berusaha untuk tidak terlalu terkekang oleh PDIP,” ujar Mada.
Lebih dari itu, Mada menyatakan, langkah Golkar membiarkan Airlangga dan Idrus sebagai menteri bagian dari strategi mengembalikan kejayaan. Ia berkata, elektabilitas Golkar masih tergerus karena kasus korupsi e-KTP yang diduga melibatkan Setnov dan sejumlah pengurus partai.
Dengan rangkap jabatan, Airlangga dan Idrus dapat mengoptimalkan beragam program kementerian untuk menarik kembali para konstituen dan relawannya. Dengan cara itu, Golkar diyakini dapat kembali berjaya di pileg maupun pilpres 2019.
“Dua jabatan itu akan sangat membantu Golkar untuk meminimalisir dampak Setnov dan e-KTP. Lewat program Kementerian Sosial dan (Kementerian) Perindustrian diharapkan akan memelihara konstituen dan pendukung Golkar,” ujar Mada.
(pmg/gil)