Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah. Ada tiga jenderal polisi yang maju sebagai calon gubernur, yakni mantan Kapolda Jawa Barat Irjen Anton Charlyan, mantan Kapolda Kalimantan Timur Irjen Safaruddin, dan mantan Dankor Brimob Irjen Murad Ismail (Maluku).
Sedangkan untuk calon Bupati/ Wali kota terdapat nama, Kapolres Tapanuli Utara Sumatera Utara AKBP Jonius Taripar Parsaoran Hutabarat (Tapanuli Utara), Kombes Syafiin (Jombang), AKBP Marselis S, mantan Kapolres Manggarai Timur (Manggarai Timur), Bripka Nichodemus Ronsumbre (Biak Numfor, Papua).
Godaan terhadap anggota Polri untuk terjun ke politik, tak bisa terelakan. Tak hanya menggoda personel-personelnya untuk melepaskan seragam coklat, sebagai lembaga, Polri juga dinilai kerap terseret ke dalam pusaran politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indikasi keterlibatan Polri dalam pusaran politik ditunjukkan dari pernyataan-pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Beberapa kali pernyataan Tito dinilai oleh pengamat politik bernuansa politis.
Sebut saja, pernyataan Tito tentang krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar. Ketika itu Tito menyebut persoalan Rohingya banyak dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyerang Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Tito mengatakan, cara-cara yang dilakukan kelompok tersebut pernah digunakan dalam Pilkada Serentak 2017 untuk menyerang salah satu pasangan calon dan pemerintah.
"Dari hasil penelitian (software Opinion Analysist) isu ini lebih banyak dikemas untuk 'digoreng' menyerang pemerintah, dianggap lemah. Padahal pemerintah sudah lakukan langkah yang pas," kata Tito di Mabes Polri, Jakarta Selatan, 5 September 2017.
Mantan Kapolda Metro Jaya itu juga pernah melontarkan pernyataan bernuansa politis jelang aksi reuni 212, 2 Desember 2017 silam.
Dia mengatakan, arah aksi yang digelar Presidium Alumni 212 itu masih berkaitan dengan politik, terutama terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
"Ini (Reuni 212) juga enggak akan jauh-jauh dari politik juga, politik 2018. Ini pastinya ke arah politik 2018 dan 2019," kata Tito di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, 30 November 2017.
Kini, Polri kembali terseret ke pusaran politik setelah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo meminta Polri mengusulkan dua nama perwira tinggi Polri setingkat Aparatur Sipil Negara (ASN) eselon satu untuk menduduki kursi penjabat (Pj) gubernur di dua provinsi, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto melihat situasi yang terjadi di tubuh Polri saat ini merupakan bukti kegagapan Polri dalam menangkap dan menyikapi dinamika politik pasca-reformasi.
Menurutnya, setelah pemerintahan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menghapuskan dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Polri gagal melakukan langkah reformasi seperti yang ditempuh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia menilai, Polri lebih terkesan tergoda dengan politik.
"Selama 32 tahun dijadikan adik bungsu dalam ABRI, Polri gagap untuk menangkap dan menyikapi dinamika politik pasca-reformasi. Setelah TNI cepat melakukan reformasi ke dalam, pasca-dihapuskannya dwi fungsi, Polri malah seakan tergoda dengan politik," kata Bambang Rukminto saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Senin (29/1).
Selain itu, lanjutnya, situasi Polri yang kian terseret ke ranah politik ini juga terjadi lantaran Tito gagal melakukan konsolidasi di dalam internal Polri.
Menurut dia, Tito kalah cepat dengan anggota lain yang resisten dalam menyikapi perubahan di tubuh Polri.
Bambang Rukminto berpendapat, situasi ini lahir akibat ulah oknum anggota Polri yang kerap bermain-main dengan penegakan hukum demi mengumpulkan pundi-pundi uang.
"Banyak oknum polisi terlalu asyik dengan penegakan hukum karena posisi ini terdapat celah-celah untuk "bermain-main" yang bisa buat menumpuk pundi-pundi ekonomi," kata peniliti Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) ini.
Sementara, pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio melihat sejumlah pernyataan Tito dan langkah Polri kian terseret ke ranah politik.
Bahkan, menurutnya, berbagai pernyataan yang dilontarkan oleh Tito dalam menyikapi berbagai situasi atau kebijakan pemerintah bak seorang pengamat politik.
"Wajar publik menganggap seperti itu (Polri semakin terseret ke ranah politik), karena beberapa statement Tito pun kadang-kadang seperti pengamat politik," kata Hendri.
Ia menyebut, Polri telah terbawa ke dalam area politik yang terlalu dalam karena Tito selaku pemimpin tertinggi tidak pernah berupaya menetralisir anggapan publik terkait kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo.
Dia menduga, hal ini dilakukan sebagai persiapan Tito untuk menduduki posisi calon wakil presiden pendamping Jokowi di Pilpres 2019.
"Polri ini lebih dicitrakan dengan ke Jokowi dibandingkan TNI, citra itu membuat Polri ke ranah politik terlalu dalam, dan citra itu sama sekali tidak berusaha dinetralisir (atau) didiemin aja, mungkin persiapan menjadi cawapres Jokowi," katanya.
Hendri pun menyatakan, Polri harus segera menyikapi permintaan Kemendagri terkait pencalonan dua nama perwira tinggi Polri, Irjen Mochamad Iriawan dan Irjen Martuani Sormin untuk menduduki kursi Pj gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Menurutnya, Tito sebaiknya menolak permintaan tersebut dan menjauhkan Polri dari tarik menarik kepentingan politik. Bambang mengatakan, langkah ini akan memberikan citra positif bagi institusi Polri.
"Katakan saja untuk menghindari polemik berkepanjangan di masyarakat, terus untuk hindari citra negatif kepada pemerintah, Polri memutuskan untuk menolak usulan itu, pasti Kemendagri cari orang lagi," katanya.
Pengaruhi Loyalitas PolriSenada, pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar menyatakan langkah Kemendagri meminta dua perwira tinggi Polri untuk dijadikan Pj gubernur telah menyeret Korps Bhayangkara ke ranah politik praktis.
Menurutnya, langkah Kemendagri ini berpotensi mempengaruhi loyalitas dan netralitas Polri dalam melaksanakan tugas pengamanan Pilkada 2018 yang akan berlangsung di 171 wilayah.
"Penunjukkan tersebut bisa menyeret pejabat polisi ke ranah politik praktis dan karena
les spirit de corp bisa mempengaruhi netralitas polisi dalam tugas pengamanan Pilkada," tuturnya.
Secara fungsional, menurutnya, Kemendagri lebih baik mengangkat pejabat sipil untuk menduduki kursi Pj gubernur. Menurutnya, kerawanan wilayah yang menyelenggarakan Pilkada 2018 tidak tepat menjadi alasan untuk mengusulkan perwira tinggi Polri menjadi Pj gubernur.
Bambang berkata, masalah keamanan dan ketertiban masyarakat sudah menjadi tanggung jawab kepala kepolisian satuan wilayah tingkat daerah terkait.
"Kalau soal keamanan sudah Kapolda di wilayah yang bertanggung jawab," ujarnya.
Ia pun berharap, Polri tidak mengulangi kesalahan dengan menabrak aturan hukum seperti saat pengangkatan dua perwira tinggi sebagai pejabat di institusi lain, yakni Irjen Ronny Sompie sebagai Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM serta Irjen Pudji Hartanto Iskandar sebagai Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan.
Menurutnya, pencalonan perwira tinggi Polri sebagai Pj gubernur tidak hanya melanggar etika, melainkan dua regulasi sekaligus yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Saya berpendapat itu melanggar hukum, karena bertentangan dengan undang-undang kepolisian dan undang-undang Pilkada, karena sudah digariskan bahwa yang diangkat jadi Plt (pelaksana tugas) kalau ada kekosongan adalah pejabat Kemendagri," tuturnya.
(ugo/djm)