Jakarta, CNN Indonesia -- Pasal yang mengatur tentang perzinaan dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dengan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun diklaim tetap membatasi pelaporan atau pengaduan yang menjadi subtansi dalam pasal tersebut.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP Teuku Taufiqulhadi mengatakan, pembatasan itu diatur agar tidak sembarang orang dapat melaporkan terkait dugaan perzinaan.
"Itu untuk melindungi, tidak memudahkan orang melakukan pelaporan. Jangan nanti semua orang bisa melaporkan," kata Taufiqulhadi ketika dihubungi, Jumat (2/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Pasal 484 draf RKUHP ada perluasan tindak pidana yang dikategorikan sebagai zina. Pasal 484 ayat (1) huruf e menyatakan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, diancam pidana penjara lima tahun.
Sedangkan dalam KUHP lama, Pasal 284 yang mengatur tentang tindak pidana kesusilaan hanya memuat pidana jika salah satu pelaku telah memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain.
Sementara terkait pelaporan perzinaan diatur pada Pasal 484 ayat 2 draf RKUHP. Pasal itu menyebutkan, tindak pidana zina tidak bisa dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan.
"Nah karena itu dibatasi, pertama adalah suami dan istri, yang kedua adalah orang tuanya. Dibatasi. Kalau saudaranya, misalnya saudara sepupu, tidak boleh. Itu dibatasi," kata dia mencontohkan.
Taufiqulhadi menjamin pembatasan pelaporan tersebut itu tidak akan menimbulkan permasalahan baru. Justru kata dia, jika tidak dibatasi atau diperketat akan timbul masalah baru.
"Kalau tidak dibatasi dia itu malah menjadi bermasalah, tetapi kalau dibatasi bahwa itu delik aduan kalau tidak diadu ya tidak dilapor, tidak apa-apa," katanya.
Di sisi lain, sebelumnya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan bahwa legislatif perlu berhati-hati dalam membuat aturan yang menyangkut privasi seseorang.
"Sebab itu bisa berbahaya. Itu bisa backfire, bisa menjadi alat untuk menjebak orang," kata Fahri dua hari yang lalu.
Pada dasarnya, kata Fahri, privasi seseorang merupakan wilayah yang harus dibiarkan. Karena itu akan menjadi tanggung jawab orang tersebut, baik secara sosial maupun keagamaan.
Dia khawatir jika banyak aturan dibuat menyangkut privasi, akan menimbulkan kriminalisasi atau penyalahgunaan.
"Intinya hati-hati menerapkan pasal yang bisa mengkriminalisasi kegiatan pribadi orang. Itu bisa berbahaya bagi kebebasan demokrasi sipil kita," kata Fahri.
(osc)