Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak konsisten dalam memposisikan lembaganya.
"Menarik untuk kita lihat inkonsistensi dari MK," ucap Laode di Gedung MK, Jakarta, Kamis (8/2).
Pernyataan Laode itu menanggapi putusan MK menolak gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD pasal 79 ayat (3). Dalam pertimbangannya, MK menganggap KPK termasuk lembaga eksekutif, sehingga DPR sah membentuk Panitia Khusus Hak Angket untuk KPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Empat hakim memiliki
dissenting opinion atau pendapat berbeda. Menurut mereka, KPK tidak termasuk lembaga eksekutif. Terlebih, sebelumnya MK juga pernah memutus empat perkara yang di dalamnya menyebut bahwa KPK lembaga independen, bukan eksekutif.
Empat putusan yang dimaksud antara lain Putusan dengan nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Nomor 19/PUU-V/2007, Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, dan putusan Nomor 5/PUU-IX/2011.
Menurut Laode, pendapat berbeda dari empat hakim terhadap putusan MK itu menarik untuk dicermati.
"Putusan MK hari ini dianggap bertentangan (oleh empat hakim) dengan empat putusan MK sebelumnya. Dulu dikatakan KPK bukan bagian dari eksekutif, hari ini MK memutuskan bahwa KPK itu dianggap bagian eksekutif," kata Laode.
Meski begitu, Laode mengatakan, KPK menghormati putusan MK. Apalagi, putusan MK bersifat mutlak dan mengikat atau tidak bisa digugat melalui tahap kasasi.
"Tapi meski demikian, kami merasa agak kecewa dengan putusannya, karena judicial review itu ditolak," katanya.
Di tempat yang sama, Ketua Biro Hukum KPK Setiadi mengaku sedih dengan putusan MK yang menolak uji materi terhadap Pasal 79 ayat (3) UU MD3.
"Saya belum bisa komentar, tapi komentar satu kata saja, sedih," katanya.
Mahkamah Konstitusi menolak tiga gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD pasal 79 ayat (3) dengan nomor 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, dan 40/PUU-XV/2017.
MK menyebut KPK sebagai lembaga eksekutif, sehingga DPR sah membentuk Panitia Khusus Hak Angket untuk KPK.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon," Ucap Hakim Arief Hidayat saat membacakan putusan, Kamis (8/2).
Dalam sidang putusan itu, ada empat hakim yang melontarkan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Mereka adalah Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Maria Farida Indrati.
Mereka menganggap KPK tidak termasuk lembaga eksekutif, sehingga hak angket tidak bisa digunakan untuk menyelediki KPK.
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
KPK KecewaJuru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya kecewa dengan putusan MK terkait Pansus Angket.
"Jadi, meskipun KPK kecewa dengan putusan tersebut, namun tentu sebagai institusi penegak hukum, KPK tetap menghormati putusan pengadilan," kata Febri di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (8/2).
Febri mengatakan, pihaknya akan mempelajari putusan tersebut lebih lanjut untuk melihat konsekuensi KPK secara kelembagaan. Menurut dia, hasil pembahasan pihaknya bakal berpengaruh kepada relasi KPK dengan DPR, khususnya Pansus Hak Angket.
"Jadi itu masih perlu kami pelajari lebih lanjut," tuturnya.
Namun, kata Febri, ada satu hal yang paling penting dalam pertimbangan putusan MK tersebut, yaitu hakim menegaskan bahwa kewenangan pengawasan DPR tak bisa masuk pada proses yudisial yang dilakukan KPK. Proses yudisial itu adalah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Febri menyatakan, proses yudisial yang dilakukan KPK harus berjalan secara independen tanpa bisa diintervensi oleh pihak manapun.
"Proses yudisial ini harus berjalan secara independen dan pengawasannya sudah dilakukan oleh lembaga peradilan, mulai dari proses praperadilan, pengawasan horizontal sampai dengan proses berlapis di pengadilan tipikor tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi," ujarnya.
(pmg/gil)